Diskusi Iklan ‘Go To Hell Pemfitnah SBY’ dan Surat Tanggapannya



Oleh : Dodi Faedlulloh

Berkait dengan iklan Iklan “Go To Hell Pemfitnah SBY” yang di muat di Harian Pos Kota terbitan Sabtu 28 November 2009 secara jelas menunjukan betapa cukup bebasnya masyarakat untuk berekspresi dalam menyampaikan aspirasinya. Aspirasi berupa dukungan terhadap presiden ini patutnya tampak menjadi kurang bijak karena disisipkan di media massa yang dimana dapat diakses dengan mudah oleh khalayak umum. Hal ini justru bisa memancing prespektif dan dugaan buruk terhadap nama orang yang dicantumkannya (SBY).

Pro kontra dalam dunia politik adalah hal yang wajar dan bisa menjadi “penghangat” demokrasi di Indonesia, tapi tetap harus diingat kembali kaidah bagaimana menyampaikan pendapat yang baik. Iklan ini menurut Saya menjadi kurang layak untuk dipajang di media massa karena dari kalimat yang digunakan (go to hell) sungguh kurang sopan. Dengan kalimat “go to hell” tanpa ada pemaparan bukti dan argumen yang kuat justru bisa membuat pembaca bingung. Seperti cerita dalam film, biasanya kata-kata kasar justru keluar dari mulut penjahat untuk memaki lawannya, begitu juga dengan hal ini dikhawatirkan akan adanya dugaan negatif masyarakat kepada SBY yang belum tentu kebenarnnya. Akan menjadi lebih elok andai kata aspirasi tersebut tidak disampaikan berupa iklan ancaman seperi yang di muat di Harian Pos Kota terbitan Sabtu 28 November 2009. Pastinya ada cara lain yang lebih bijak untuk menyampaikan aspirasi (dukungan), misalkan disampaikan berupa catatan dalam caping (catatan pinggir) atau rubrik opini yang biasa dimuat oleh koran.

Surat Tanggapan dari AS Laksana

Iklan “Go To Hell Pemfitnah SBY” hadir, surat (kritik) tanggapan untuk presiden pun juga muncul dari AS Laksana, seorang penulis dan cerpenis yang tinggal di Jakarta. Kondisi ini menunjukan manifestasi dari demokratisasi di Indonesia. Patut diacungi jempol karena beliau (AS Laksana) dengan mengatas namakan dirinya sendiri yang ditunggangi dari hati nurani dan akal sehatnya dengan penuh “keberanian” menuliskan surat tanggapan kepada SBY berkaitan dengan iklan tersebut. Dengan argumen-argumen yang dipaparkan AS Laksana hanyalah lebih meminta bukti dari presiden tentang komitmen janji kampanyenya untuk memberantas koruptor dan mafia hukum. Hemat Saya, surat tanggapan tersebut lebih santun dibanding iklan “Go To Hell Pemfitnah SBY”.

Dikaitkan dengan etika administrasi negara, hal ini bermula dari dugaan masyarakat tentang adanya perilaku tidak etis yang terjadi di birokrasi pemerintah antara lain seperti sikap bohong kepada publik, korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran nilai-nilai publik: responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan melanggar sumpah jabatan yang bisa mengorbankan, mengabaikan, atau merugikan kepentingan publik. Dari dugaan tersebut maka muncul beberapa pemikiran dari masyarakat. Setiap kepala berbeda isi kepalanya, ada yang percaya ada juga yang tidak (dalam artian tetap mendukung SBY).

Tapi pada hakikinya kesempatan kali ini bukanlah membicarakan siapa mendukung siapa melainkan pencarian fakta mana yang benar. Sesungguhnya hal ini bisa saja tidak terjadi andai kata etika adminitrasi negara benar-benar dilaksanakan dengan baik oleh para aparatur negara (dari atas sampai bawah) sehingga tidak memancing pemikiran negatif dari masyarakat. Etika administrasi negara yang dimana sebagai pedoman, aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi aparat seyogyanya harulah tetap menjadi acuan dalam setiap pelaksaan kegiatan negara.

Kaitan dengan Good Governance

Salah satu prinsip dari good governance adalah bersifat terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahan di setiap tahap pengambilan keputusan Indiksinya yaitu adanya aksesibilitas publik terhadap informasi terkait dengan suatu kebijakan publik. Setiap kebijakan publik termasuk kebijakan alokasi anggaran dan pelaksanaannya maupun hasil-hasilnya mutlak harus diinformasikan kepada publik atau dapat diakses oleh publik selengkap-lengkapnya melalui berbagai media dan forum untuk mendapat respon dari publik. Muncul issu prinsip sifat terbuka tidak dilaksanakan dengan semestinya. Sehingga publik memberanikan diri untuk meraba-meraba hal-hal yang masih tertutup dan masih kasat mata yang tak ayal hal ini membuat publik lebih memilih jalan “keadilan” dengan caranya sendiri.

Prinsip lain good governance diantaranya yaitu cepat tanggap. Presiden SBY dirasa oleh publik tidak cepat tanggap. Beliau dirasa lamban dan kurang tegas dalam mengatasi kasus yang sejatinya sangat menyakitkan hati rakyat ini. SBY selaku pemimpin nasional sebenarnya diharapkan oleh masyarakat untuk bisa mengatasi masalah ini dengan cepat. Good governance akan lebih mudah diimplementasikan bila adanya komitmen elit untuk setia berada digaris prinsip-prinsip good governance. Adapun prinsip-prinsip dari good governance itu sendiri adalah : (1) Berwawasan ke depan, (2) Bersifat terbuka, (3) Cepat tanggap, (4) Akuntabel, (5) Profesionalitas dan kompetensi, (6) Efisien dan efektif, (7) Desentralisasi, (8) Demokratis dan berorientasi pada Konsensus, (9) Mendorong partisipasi masyarakat, (10) Kemitraan dengan swasta dan masyarakat, (11) Menjunjung supremasi hukum, (12)Komitmen pada pengurangan kesenjangan, (13)Memiliki komitmen pada pasar dan (14) Komitmen pada lingkungan hidup.

Suatu hal terjadi pasti akan ada hikmah yang bisa dipetik, begitu juga dari kejadian ini. Kehadiran iklan dan surat tanggapan memperlihatkan sinyal positif yakni berlangsungnya salah satu prinsip good governance tentang partisipasi masyarakat. Pemerintah dan masyarakat mampu dan mau saling melengkapi dan mendukung (mutualisme) dalam keberlangsungan dunia governance di Indonesia. Setidaknya jiwa demokrasi sudah mulai merambah kedalam kehidupan masyarakat biasa yang tak mempunyai “kekuasaan” politik. Semoga Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi.

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma