Ada Apa dengan Pendidikan Indonesia ?

Oleh : Dodi Faedlulloh

Berbicara tentang pendidikan, saya jadi teringat pengalaman saat masih berseragam putih abu, kurang lebih dua tahun yang lalu. Suatu ketika ibu kepala sekolah pergi berkunjung ke negeri kangguru, Australia, untuk mengadakan study tour. Sesampainya kembali di sekolah Beliau sedikit menceritakan pengalamannya saat berada disana. Beliau merasa heran ketika melihat beberapa sekolah yang ada disana bentuk bangunannya tidak seperti yang biasanya ada di Indonesia, yakni tidak ada pagar pembatas atau semacamnya. Kemudian Beliau pun berinisiatif menanyakan hal tersebut kepada salah seorang guru Australia yang ada disana. Seorang guru tersebut menjawab pertanyaan ibu kepala sekolah sembari tersenyum. "Kami mengajar manusia, bukan hewan !" jawabnya. Tentu jawaban tersebut sedikit mengagetkan. Mereka tidak mengajar hewan, jadi tidak perlu merasa khwatir anak didiknya akan pergi kabur saat jam pelajaran, kurang lebih seperti itulah yang dapat disimpulkan dari pengalaman Beliau saat pergi study tour ke Australia.

Miris juga memang, kontras dengan situasi sekolah di Indonesia. Hampir semua bentuk bangunan sekolah yang ada di Indonesia pasti selalu dibatasi dengan tembok-tembok tinggi ataupun pagar. Tujuannya tentu untuk menjaga "keamanan". Keamanan disini lebih berorientasi kepada keamanan agar para peserta didik tentunya tidak mudah keluar (kabur-red) saat jam pelajaran. Tidak perlu menyangkal, fakta dilapangan memang berbicara seperti itu. Fenomena "melarikan diri" dari pelajaran sudah jamak dilakukan oleh para siswa Indonesia. Beberapa sahabat saya ketika SMA adalah pelaku setianya, dengan alasan yang beragam, ada yang memang benci mata pelajarannya, tidak suka akan pengajarnya atau mungkin sekedar iseng.

Tentu semua pihak tidak akan setuju kalau para siswa di Indonesia disamakan dengan hewan. Akan tetapi dari hal tersebut muncul pertanyaan yang harus segera dijawab, "Adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita?" Secara empiris metode pendidikan di Indonesia dalam perihal kurikulum telah beberapa kali berganti (diharapkan) sesuai dengan dinamika perubahan zaman. Akan tetapi secara substansi perubahan-perubahan tersebut tidak begitu siginifikan. Metode yang telah ada patutnya masih dianggap sebagai tahap pengajaran belum sampai ke level pendidikan. Istilah guru kencing berdiri murid kencing berlari masih bisa dijadikan sebagai acuan yang tepat untuk kondisi pendidikan di Indonesia. Guru masih dianggap sebagai mahluk yang sempurna oleh para anak didiknya, oleh karena itu seharusnya (idealnya-red) para guru tidak hanya sekedar mentrasfer materi-materi pelajaran dan mengaplikasikan peraturan-peraturan secara kaku, para pendidik juga dituntut untuk bisa memberikan suatu contoh yang baik pula bagi para siswanya.

Menurut beberapa pengamat pendidikan, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia lebih menekankan kepada aspek intelegensi para siswa saja. Bila seorang siswa telah pintar dan berprestasi secara akademis maka pihak sekolah dianggap telah berhasil menggapai tujuan. Hal-hal yang berbau akademis seperti lebih diprioritaskan sedangkan aspek moralitas dan mentalitas seakan sedikit terabaikan. Para peserta didik terus dicekoki materi-materi pelajaran bahkan tidak sedikit para siswa menganggap materi-materi tersebut menyebabkan over load sehingga tentunya mereka tidak bisa memahami materi-materi tersebut secara keseluruhan.

Sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi, mental dan moral harus dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sudah barang tentu pemerintah sebagai pemilik kewenangan tertinggi dan pihak sekolah sebagai implementor mempunyai kewajiban dalam pembenahan sistem-sistem ini. Pada dasarnya dalam kehidupan harus dijalani secara balance, begitu juga dengan pendidikan. Nilai-nilai yang relevan dengan hal yang bersifat spiritual dan emosional harus juga dipupuk dan dikembangkan dengan baik, tidak sekedar formalitas belaka. Dengan adanya niatan menjungjung tinggi nilai-nilai spiritual dan emosional dalam implementasinya bisa dijalankan dengan instumen-instrumen yang bisa dipilih dan dilaksanakan secara 'bebas' oleh pihak sekolah sebagai implementor dan pemerintah tentunya terus tetap menjadi pengawas dan pemberi arah. Instrumen-instrumen disini bisa dijadikan sebai ajang bagi para pendidik untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasi agar para siswa bisa merasa betah dikelas dan tak ada lagi kata 'pemaksaan' terlintas dalam benak para siswa.

Suatu tindakan yang tidak bijak memang bila permasalahan ini diserahkan sepenuhnya kepada institusi formal seperti sektor pemerintah dan pihak sekolah saja, bagaimanapun pendidikan adalah tanggung jawab kita semua. Suatu proses tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, satu sama lain harus saling bahu membahu menggapai tujuan tersebut. Aspek lingkungan salah satunya. Keluarga atau orang tua siswa harus mampu mengawasi perilaku para anaknya saat berada diluar sekolah. Kita pun bisa ikut berkontribusi secara riil membantu proses menuju pendidikan yang ideal dengan cara mengawasi dalam kehidupan sehari-hari. Janganlah berdiam diri bila kita melihat penyimpangan yang terjadi, contohnya antara lain kita bisa memberikan informasi kepada sekolah yang bersangkutan apabila menyaksikan ada para siswanya yang sedang asyik jalan-jalan atau nongkrong diluar sekolah saat masih jam pelajaran.

Tak ada kata terlambat untuk berubah. Esensi pendidikan harus dikembalikan kepada jalan yang benar. Bilamana ada sesuatu yang salah dan tidak sesuai dalam dunia pendidikan di Indonesia baik itu secara sistem, regulasi ataupun dalam pelaksaannya dilapangan kita dituntut untuk tidak tiba-tiba berubah menjadi 'buta' dan 'tuli' menyaksikan dan mendengar realitas yang ada. Memang masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan. Yang telah dipaparkan diatas mungkin hanya secuil dari keseluruhan jumlah permasalahan yang ada, tapi apapun itu bukan berarti kita berhenti untuk peduli terhadap pendidikan kan ?.

Tulisan ini sebelumya telah berkontribusi dalam rubrik tuisan web jalan remaja dan dipublikasikan di http://www.jalanremaja1208.org/detailtulisan.php?id=2

4 komentar:

Muchlisin mengatakan...

Semoga pendidikan kita terus maju.

Ya Allah, jadikanlah negeri ini baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur

Zippy mengatakan...

Wah..untung saya orangnya gak suka kabur waktu sekolah...
Rugi, hehehe...
Ya..kecuali kalo terpaksa, wkwkwkkwkw....
Oh..ya, semoga aja lebih baik kedepannya pendidikan kita ini :)

Dodi Faedlulloh mengatakan...

@ Muchlisin
Amin ... Tapi harapan akan menjadi wacana bila kita cuma diam menyaksikan saja. Perlu ada perubahan yang mengena dalam sektor pendidikan.

@ Zippy
Amin, pasti banyak terpaksanya ya ? wkwkwk

akhatam mengatakan...

wah artikelnya bagus banG... sukses selalu...

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma