Huh !! akhirnya selesai juga ujian akhir semester empat ini, setelah kurang lebih selama dua minggu berjumpa dengan soal-soal yang terkadang membuat saya “menagis” karena tidak bisa menjawabnya dengan baik ataupun dengan soal-soal yang justru membuat saya bisa terseyum manis melihatnya karena percaya saya akan bisa menjawabnya dengan benar.
UAS, kurang lebih hampir disetiap mata kuliah yang saya ikuti mempunyai komposisi nilai antara 40-50%. Lumayanlah andai kata dalam UAS ini bisa mendapatkan nilai yang baik akan dapat mempengaruhi hasil indeks prestasi nanti. Berbicara mengenai IP, saya jadi teringat pembicaraan saya beberapa waktu yang lalu dengan seorang sahabat yang kebetulan dia seorang aktifis.Dalam pembicaraan tersebut kami berdua asyik berbincang tentang kehidupan dinamika dunia kampus, dari mulai gerakan-gerakan mahasiswa sampai berbicara (lebih tepatnya bergosip) tentang birokrasi yang ada di universitas. Setelah panjang lebar kesana kemari akhirnya obrolan kami sampailah keesuatu pembahasan tentang IP.
Dengan idealismenya yang kuat,sahabat saya berkata bahwasanya sesungguhnya didunia kampus apa yang kita kenal dengan namanya IP itu substansinya tidak begitu penting. Menurutnya yang penting dalam hidup adalah itu kita sudah berproses sesuai dengan prinsip yang kita anut. Dari arah pembicaraannya, saya sedikit menyimpulkan kata “proses” yang ia lafalkan disini bukanlah proses ikhitiar/belajar untuk mencapai nilai yang baik, melainkan proses diluar aktivitas kampus pada umunya, ya mungkin bisa didefiniskan pentingnya berorganisasi atau semacamnya. Sayang dalam kesempatan itu, saya hanya diam dan menjadi pendengar sejati saja, obrolan tersebut lama kelamaan semakin didominasi saja olehnya, terserahlah pikirku tapi dalam hati masih berguman”bukankah IP itu cukup penting, bila diibaratkan baru sebagai alat untuk mengetuk pintu perusahaan (saja) saat kita akan terjun kedunia kerja?”. Hmm tapi terserahlah itu sudah menjadi pendapatnya atau justru sekedar rasionalisasi justifikasi saja ? ya kurang tahu juga hanya sahabat saya itu yang tahu.Kembali lagi kesoal ujian. Ujian akhir semester kemarin menyisakan beberapa cerita yang cukup menarik bagi saya. Sebenarnya bukan hanya ujian akhir semester saja tapi ujian-ujian sebelumnya juga. Saya memang bukanlah seorang mahasiswa yang pintar, biasa saja dan munkin dianggap kurang begitu penting bagi orang lain, tapi apakah suatu kesalahan yang besar bila saya si bodoh ini ingin berubah dan menjadi pintar ?? Terkadang waktu ujian menjadi suatu dilema bagi saya, banyak faktor yang menyebabkan nya, diantaranya yaitu : pertama, memang sampai saat ini saya sama sekali belum menemukan cara belajar yang efektif . Saya masih mengandalakan SKS (sistem kebut semalam) untuk menghadapi ujian, tapi sks kali ini dalam artian hanya sekedar mengingatkan dan mendalami kembali saja point-point materi kuliah yang masih belum begitu saya mengerti bukan musti membaca secara total seluruh materi, kalaupun harus membaca atau mempelajari semuanya mungkin akan membutuhkan butuh waktu tiga hari tiga malam untuk menyelesaikannya, hehe.
Situasi dilema kembali lagi hadir ketika ujian berlangsung. Ketika saya ingin mempertahankan prinsip saya untuk bekerja sendiri saat ujian justru terganggu oleh keadaan kelas yang sangat tidak kondusif , tidak perlu diceritakan bagaimana keadaan aslinya seperti apa. Sering terdengar suara bisik-bisik dan tentu mata yang tidak bisa diam selalu saja menoleh kanan-kiri ataupun bahkan mata yang melihat kebawah (?). Itulah kiranya pemandangan yang sering saya lihat, tidak jarang bisikan itu malah terdengar ditelingaku, “Dod, nomer dua apa ?”, “Dod, nomer ini!” sembari memperlihatkan kertas soalnya kearahaku. Saya bukan seorang Soe Hok Gie yang berani diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan, apa daya saya-pun akhirnya harus ikhlas dan berlapang dada untuk memberikan beberapa jawaban saya tersebut kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Apakah ini suatu kesalahan ? ya saya akui itu memang suatu kesalahan .
Situasi dilema ini saya anggap mungkin sebagai suatu hukum karma yang membalas. Jujur saja ketika masih berseragam putih abu, saya bisa dianggap sebagai seorang murid yang tidak pernah bisa percaya diri dengan hasil jawaban sendiri. Pasti bila belum melihat jawaban orang lain hati saya ini masih belum bisa tenang, dengan segala cara pasti saya akan mencontek hasil jawaban teman saya. Dan mungkin karena kebodohan saya pada masa lalu, ketika sekarang saya berinisiatif untuk “berubah” ternyata kondisi justru seakan tidak mengizinkan.
Ada seorang teman sekelas yang memang saya yakini kalau dia benar-benar bekerja sendiri saat ujian. Setahu saya dia tak pernah sekalipun bertanya ataupun menjawab “permintaan tolong” dari teman-temannya pada saat ujian, dan mungkin dari pengalaman tersebutlah, kini tak ada satu pun teman saya lagi meminta jawaban kepadanya. Tapi sayang dia bukanlah saya, dilihat dari penampilan saja, saya yang cuek bebek saat berpenampilan, berambut gondrong, sangat suka pakai celana jeans belel yang bolong saat pergi ke kampus, ya dengan kata lain masih tampak sangat slengean-lah untuk seorang mahasiwa yang dikenal dengan sebagai kaum intelek. Oleh karena itu suatu hal yang wajar adanya apabila teman-teman akan menganggap saya sama sekali tidak pantas untuk berbuat sama seperti teman saya yang tadi diceritakan pada saat ujian.
Untuk mengurangi situasi dilema tersebut, beberapa kali saat ujian kemarin, ketika semua pertanyaan saya jawab, saya periksa kembali jawaban terebut setelah semuanya dianggap cukup kemudian saya memberanikan diri untuk berdiri dan berjalan meningalkan kursi tempat saya duduk menuju pintu keluar. Saya tidak ingin berlama-lama dikelas, karena saya sama sekali tidak bisa menjamin kalau saya tidak akan terpengaruh oleh situasi kelas yang semakin lama semakin tidak kondusif. Untuk beberapa detik saya bak menjadi seorang artis, puluhan pasang mata tertuju padaku. Berbagai respon yang timbul, ada yang kaget,tersenyum, berkomentar sembari teriak, ada juga yang masih sempat-sempatnya berbisik bertanya jawaban ujian, atau justru ada yang sama sekali tidak tahu saya keluar duluan karena tampaknya sedang sibuk membaca sms di hanphonenya. Sms-an saat ujian ? kurang tahu juga, tapi tampaknya hal yang tidak mungkin bila isi pesan tersebut sekedar ucapan salam atau pertanyaan sudah makan atau belum.
Diluar ruang ujian, saya beristirahat sambil menunggu beberapa teman-teman saya keluar sembari berpikir kalau misalnya mekanisme ujian terus berpotensi untuk selalu berbuat curang seperti ini mending dihapus saja, karena justru yang hadir bukanlah kompetensi dan kompetisi yang sehat melainkan berubah menjadi cikal bakal ketidakjujuran bagi para mahasiswa. Beberapa saat kemudian keluar seorang teman saya yang dikenal sebagai salah seorang mahasiswa yang pintar dan ber-IP 3 koma sekian.Diapun menghampiriku, sambil tersenyum (sinis dan agak mengejek) dia berkata dengan sedikit nada tinggi“Wah si Dodi gaya lah, suka keluar paling dulu sekarang mah!” kemudian diapun berlalu begitu saja. Sakit hati ? jangan ditanya ! pastilah sakit hati “diseperti itukan”, tapi apa daya itu mungkin sebuah konsokuensi yang musti saya terima. Saya cuma mahasiswa biasa yang tidak pintar dan dianggap tidak patut untuk mendahului para mahasiswa pintar seperti dia saat ujian Saya kembali cuma bisa tersenyum menghadapinya.
Pertanyaan kembali muncul, kenapa saat orang-orang yang dikenal pintar dikelas keluar paling dulu saat ujian sama sekali tidak ada presepsi negatif yang muncul, tapi apabila saya atau teman saya yang “satu level” keluar paling dulu, respon yang muncul justru “berbeda” ????? lagi-lagi dilema.
Sudahlah semuanya sudah terjadi dan berlalu, yang penting sekarang tetap beruasaha untuk lebih baik lagi. Itu saja , dan akhirnya kini liburan panjang pun tiba, saatnya sejenak melupakan sedikit rutinitas dunia kampus, kembali ke keluarga, saatnya sedikit bersenang-senang dengan teman-temanku di Tasik tercinta. Saya ucapkan terimakasih kepada teman-teman yang sudah sudi membaca cerita dan keluh kesah yang kurang penting ini, and the last, have a nice holiday my friends !!!
4 komentar:
Santi Embun Sari pada 12 Juli 10:44
SETUJU..
emg bgtu kdg persepsi "org2 yang menganggap diri mereka pintar dan mayb dianggap pintar kalo ngliat kita yg lebih pintar".
heran jg kdg, knp mreka kdg pikirn gt..... Baca Selengkapnya
mayb qt emg gk pinter2 amt, tp qt jg bs kya mereka.
pintar pd kondisi trtentu..
mayb mreka mrasa jiper x ya, kog bs kalah sm org kya qt..
but, who cares lah.. sakit ati jg kdg klo dicap males, dsb.
biariin aj mreka dgn prsepsi mreka..
yg penting nilay qt bagus.. :D
Rhaina Khairani pada 12 Juli 10:43
everybody has their own mind for making their perception,so whtvr wht they talk about u.halangan berubah untuk jd baik memang sering lebih banyak dr pada buat jd jelek,secara malaikat cm 10 eh setan sekali beranak smp seribuan,hehe.everybody to be allowed for their better changing,semangat odiiii,rey like this dah,hehehe
1. klo gw udh tw bkalan gtu dod! jd klo gw dah slse dluan, mending ga ush kluar, tidur z d klas... trus siapa tw pas tidur kpikiran inget apa gtu.. tambahin de jwabannya, drpda kluar dluan trus ada yg klupaan kan ga bisa d ambil lagi.
2. ada yg minta jwban ama lu!kan lu nya lagi tidur, jd kan ga denger, pas bangun trus ketemu ama dya, pasang muka inosen("sry euy uing sare!heuheu")
Pandu Wicaksono pada 12 Juli 11:10
nilai baik atau buruk, dicap pintar atau tidak, disindir, dipuji atau dihina, yang penting adalah bagaimana kita berproses dan melakukan semua itu.
meskipun nilai kita buruk, meskipun kita dicap tidak pintar, meskipun kita dihina..selama kita melakukan hal yang baik..kitalah yang menjadi pemenangnya..
pemenang sejati dalam ujian bukanlah mereka yang mendapat nilai tinggi, tetapi mereka yang memegang kejujuran dan prinsip2 kejujuran selama melakukan ujian tersebut..
tetap semangat doy!!!:)
Posting Komentar