Oleh: Dodi Faedlulloh
PERSOALAN agraria di Indonesia selalu menghadirkan sekelumit problem
yang seakan tidak pernah usai. Konflik terus terjadi di sana-sini,
semakin melebar, semakin luas, baik yang bersifat horizontal ataupun
vertikal. Kekerasan struktural maupun kultural menjadi sesuatu yang
tidak bisa lepas dalam setiap konflik agraria. Setidaknya dari catatan
Walhi, pada tahun 2014 telah terjadi 472 konflik agraria dengan luas
wilayah mencapai 2.860.977,07 hektare yang melibatkan 105.887 kepala
keluarga (KK). Jumlah konflik tersebut meningkat sebanyak 103 konflik
(27,9 persen) jika dibandingkan dengan jumlah konflik di tahun 2013 (369
konflik) (Antaranews, 2015). Bahkan Walhi memprediksikan tahun 2015 ini
konflik agraria akan semakin bertambah.
Yang jelas, hal ini adalah pekerjaan rumah bersama. Walaupun negara
kita kini memiliki nomenklatur kementerian agraria, kita tidak bisa
sepenuhnya menyerahkan masalah ini kepada negara, karena justru tidak
jarang negara tampil menjadi ‘biang keladi’ dalam prahara agraria di
Indonesia. Problem yang tak kunjung usai tersebut masih membuka celah
bagi kita untuk senantiasa berupaya memberikan kontribusi konkret dalam
menawarkan problem solving.
Tanah merupakan faktor penting bagi kehidupan dan kesejahteraan
manusia. Tanah adalah tempat tinggal dan sumber ekonomi bagi manusia.
Namun, saying, rekaman realitas mencerminkan ironi. Tanah di Indonesia
dihiasi hiruk pikuk ragam masalah. Salah satu permasalahan mendasar
agraria di Indonesia adalah timpangnya konsentrasi kepemilikan tanah.
Sebagai ilustrasi di kehutanan, terdapat 531 izin hak pengusahaan hutan
(HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Luasnya mencapai 35,8 juta
hektar, hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara
ada 57 izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas cuma 0,25
juta hektar. Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan
akses secara legal atas kawasan hutan (Sirait dalam Arsyad: 2012).
Alhasil kemiskinan menjadi wajah buruk Indonesia. Ketimpangan tersebut
tak lain karena didorong ambisi kapitalisme yang hendak mengumpulkan
pundi-pundi keuntungan bagi para borjuis besar. Sistem ini menghendaki
‘jalan tol’ guna mengakselerasi pertumbuhan kapital. Oleh karenanya
segala cara dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuannya. Bahasa halus dari
berbagai agenda akumulasi kapital ini lebih dikenal dengan kata:
pembangunan.
Kendati dominasi serangan kapital semakin gencar, namun semangat
perlawanan itu masih ada dan berlipat ganda. Lihatlah bentuk perjuangan
menentang pembangunan tambang dan pabrik-pabrik perusak lingkungan yang
semakin militan di beberapa daerah. Ada para petani Kulon Progo yang
berkolektif membangun tata kelola pertanian subsiten, warga Urut Sewu
yang tanpa henti menjaga tanah mereka dari hadangan militer, Ibu-ibu di
Rembang dengan pekikan takbir perlawanan tanpa henti terus melawan
alat-alat besar. Dengan kata lain, rakyat pun memiliki kesadaran
progresif terhadap apa yang dihadapinya.
Mengenai konflik agraria, sudah banyak ahli agraria menjelaskan
secara terang akar masalahnya sekaligus rumusan-rumusan solusi. Begitu
juga, tidak sedikit para aktivis agraria telah memproduksi pengetahuan
tentang cara-cara perlawanan. Oleh karenanya, pada kesempatan ini,
penulis tidak menyoroti hal tersebut. Adapun di sini penulis memilih
untuk menguraikan hal ihwal kemungkinan alternatif lain tata kelola
agraria, yang mana sumber semangat diambil dari falsafah demokrasi
ekonomi, yaitu koperasi sebagai alternatif tata kelola agraria.
Koperasi Agraria di Indonesia
D.N Aidit (1963) pernah menjelaskan tentang esensi koperasi dalam
bidang pertanian. Baginya koperasi bukanlah senjata utama satu-satunya
untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada pokoknya
kekuasaan tetap harus bisa direbut, melikuidasi kekuasaan dari para
kapitalis monopoli imperialis, dan mengembalikan fungsi kekuasaan
tersebut kepada rakyat. Dengan kata lain, perjuangan yang harus
dilangsungkan adalah perjuangan ekonomi politik, dan koperasi bisa
menjadi salah satu instrumennya. Poin ini yang membedakan dengan
pemikiran Moh Hatta yang fokus pada gagasan koperasi sebagai jawaban
sistem ekonomi yang mensejahterakan, yang dengan sendirinya transformasi
sosial akan tercipta walau tanpa perlu didahului perjuangan politik.
Koperasi yang berkait dengan bidang agraria di Indonesia memiliki
sejarah minor. Seperti yang diulas Aidit, banyak saat masa Orde Lama
koperasi lahir adalah koperasi-koperasi palsu yang menjalankan praktek
kapitalisme dengan wajah koperasi. Koperasi tersebut tidak dimiliki oleh
rakyat yang meng-anggota melainkan para borjuis yang punya harta
berlebih. Pada masa Orde Baru, kondisinya semakin parah. Kehadiran
Koperasi Unit Desa (KUD) malah membunuh koperasi dari dalam lewat
pendekatan top down yang tak berakar kepentingan dan kebutuhan
publik. KUD jadi ‘koperasi tembak’, sekedar proyek negara minus
keterlibatan anggota, akhirnya dengan sendirinya mereka mandul dan
menjadi fakir fasilitas negara. Kondisi tersebut memperlemah modal
sosial karena KUD dalam praktiknya banyak dimainkan oleh para elit desa
yang menjadi pengurusnya. Akhirnya mimpi KUD sebagai penopang swasembada
pangan luluh lantah. Imbasnya kini citra koperasi, yang konon sokoguru
ekonomi Indonesia itu, menjadi negatif. Padahal koperasi sebenanya
memiliki kekuatan tersendiri dalam menandingi sistem ekonomi yang
kapitalistik. Ia memiliki kekuatan yang adaptif dan sifat lentur
terhadap serangan gelombang ekonomi yang ada. Tak heran Dawan Raharjo
sempat menyinggung koperasi sebagai sistem ekonomi yang futuristik.
Beberapa Pertimbangan
Menghadirkan diskursus koperasi sebagai tata kelola agraria di
Indonesia perlu diikuti oleh kontruksi alasan-alasan yang logis. Dalam
tulisan ini, saya akan berusaha menjelaskan tentang jawab dari tanya
‘mengapa koperasi?’ untuk agraria.
Pertama koperasi adalah people power. Sebagai people based association,
maka titik tekan yang memiliki peran penting berjalannya organisasi
koperasi adalah manusia, bukan kapital seperti yang berjalan dalam
korporasi. Oleh karenanya, nuansa perjuangan koperasi sejati adalah
proses bottom-up rakyat yang mengorganisir diri menjadi anggota
koperasi. Dengan demikian, koperasi secara evolutif bisa berjejaring
dan bekerjasama antar koperasi yang berpotensi bertransformasi menjadi
kekuatan yang bisa menjadi countervailing dari kapitalisme.
Dengan kekuatan adapatif dan sifat lenturnya, koperasi memiliki
kemampuan gerilya ekonomi dan menusuk langsung jantung kapitalisme
(Faedlulloh, 2014). Relevansi koperasi sebagai people power pun
disinggung Aidit yang menerangkan, “Koperasi mempunyai unsur
mempersatukan, yaitu mempersatukan rakyat yang lemah ekonominya. Dengan
persatuan dan kerjasama rakyat pekerja dapat berusaha mengurangi
penghisapan tuan tanah, lintah darat, tukang idjon, tengkulak, dan
kapitalis-kapitalis atas diri mereka.” Adapun people power
dalam koperasi ini bisa mewujud melalui perjuangan politik ataupun
taktik seperti negoisasi harga yang adil yang dilakukan kekuatan
kolektif anggota koperasi produksi, pembagian resiko dalam jaringan
kerja, ataupun bertukar informasi, pengetahuan dan keterampilan.
Implikasi dari people power ini maka akses terhadap modal pun semakin besar. Inilah alasan kedua.
Para anggota bisa mengoptimalkan modal bersama-sama untuk investasi
membangun usaha, baik berupa tanggungan dana, agunan bersama dalam skema
koperasi kredit atau yang lainnya. Semakin banyak anggota, efisiensi
kolektif semakin menguat, modal pun semakin besar. Tapi yang perlu
ditekankan dalam koperasi keberadaan modal hanyalah sebagai pembantu
bukan penentu. Kemudian akses modal lain yang bisa diaplikasikan misal
berupa saling meminjam atau share alat-alat produksi, ini adalah antitesis dari kepemilikan individu alat-alat produksi.
Ketiga, koperasi bisa meningkatkan skala ekonomi. Kerjasama
antara para anggota memungkinkan para petani kecil untuk bisa melakukan
berbagai hal yang dilakukan oleh pertanian skala lebih besar. Misal
dengan membangun gudang bersama yang dilakukan atas kerjasama antara
koperasi untuk melakukan pembelian alat bantu produksi atau
barang-barang dengan jumlah besar agar lebih efisien daripada dengan
membeli dengan cara sendiri-sendiri. Kerjasama ini bisa meningkatkan
volume produksi untuk membuka ‘pasar’ baru yang ditujukan guna
memberikan kemanfaatan hasil produksi kepada rakyat yang lebih luas.
Secara ekonomis, hal ini berarti dapat menambah penghasilan atau
pendapatan terutama bagi para anggotanya.
Keempat, koperasi pun berperan penting dalam menjaga
kualitas hidup. Karena usaha tidak untuk mengeruk profit semata, maka
berbagai aktivitas dalam koperasi mempertimbangankan sisi humanis dan
juga ekologis. Dengan saling berbagi tanggung jawab dari mulai proses
produksi, penjualan, sampai mempertahankan sumber daya bersama, maka
beban kerja lebih ringan, sehingga aturan jam kerja bisa diatur
sedemikian rupa agar para petani atau para anggota tetap bisa bertemu
dengan quality time bersama keluarga atau melakukan berbagai hobinya. Sedangkan alasan kelima adalah berkenaan dengan keberlanjutan (sustainability).
Sesuai dengan prinsip ketujuh yaitu peduli terhadap komunitas, maka
koperasi secara inheren bekerja dalam konteks pengembangan masyarakat
yang berkelanjutan melalui kebijakan yang disetujui oleh para anggota.
Ikhtiar Memutus Rantai
Hari ini kapitalisme bekerja kian semakin luwes dan sistemik, semakin
sulit untuk memutus rantai produksi-distribusi. Berkenaan dengan ini
banyak para petani kecil, bahkan koperasi itu sendiri yang terjebak
dalam rantai global kapitalisme, yang membuat ujung-ujungnya masuk dalam
lingkaran sirkulasi kapitalisme. Pangan yang kita makan sehari-hari
tidak tiba-tiba saja datang di hadapan kita, ada rantai panjang yang
akhirnya menghadirkan berbagai jenis pangan tersebut untuk siap
dikonsumsi. Dalam rantai industri pangan, biasanya hasil produksi para
petani kemudian dikumpulkan untuk diproses mulai dari penyimpanan,
pembersihan sampai pada pengepakan. Pada fase inilah sistem industri
sudah mulai bekerja. Perusahaan-perusahaan besar hanya memiliki
kapasitas pemberian value added pada hasil produksi, sedangkan
para petani tidak pernah terlibat di sini, dan memang tidak mungkin
dilibatkan. Selanjutnya rantai diteruskan lewat proses distribusi, dan
lagi-lagi, hanya perusahaan besar yang bisa berperan di sini sampai
akhirnya hasil-hasil produksi yang telah diolah tersebut masuk ke
toko-toko ritel, restaurant-restaurant, dan kepada para konsumen untuk
dikonsumsi.
Hubungan rantai produksi ini sangat kompleks, apalagi dalam situasi
kontemporer rantai tersebut semakin meluas dengan skala global. Tapi
perlu diingat, serendah-rendahnya iman dalam melihat kondisi yang tidak
adil adalah melakukan perubahan melalui tangan kita. Perubahan tersebut
bisa dimulai dengan ikhitiar membangun koperasi multi-stakeholders
sebagai tata kelola agraria. Koperasi model ini dikelola oleh perwakilan
dari beberapa kelompok stakeholder, dari mulai para petani yang menjadi
produsen, pekerja, distributor, para voluntir, community supporters
sampai konsumen dengan berbasiskan solidaritas. Model ini membuka ruang
partisipasi dialog bagi para anggota untuk membicarakan agenda-agenda
bersama, tema-tema seperti pemilihan pengurus dan badan pengawas yang
representatif, pengangkatan manajemen, sampai sharing hasil usaha yang
adil di antara kelompok yang berbeda – yang juga mewakili kebutuhan yang
berbeda pula. Keragaman tersebut terintegrasi dalam single organization.
Rantai-rantai yang sebelumnya terpisah satu sama lain, yang tak jarang
menjauhkan para petani dengan para konsumen, dalam proyek koperasi
multi-stakeholder ini bisa dijembatani. Skema rantai
produsen-distributor-konsumen dalam single organization sebagai berikut:
Sebagaimana yang diterangkan Swasono (2000), basic-instinct dari gerakan koperasi adalah menolong diri sendiri (self-help) dan kerjasama (co-operation).
Kita bekerjasama untuk merangkum kekuatan-kekuatan ekonomi menjadi
suatu kekuatan sinergi yang dahsyat, berdasar kebersamaan (mutuality) dan kekeluargaan (brotherhood),
baik dalam dimensi mikro, makro, lokal, regional maupun mondial. Maka
gerakan koperasi multistakeholder sebagai alternatif tata kelola agraria
ini pun mesti mulai dijangkarkan pada kerjasama pada dimensi-dimensi
tersebut. Bila saat ini gerakan solidaritas lintas entitas sudah mulai
terajut, maka ke depan gerakan-gerakan tersebut perlu didiversifikasi
menjadi gerakan solidaritas ekonomi.
Eksplanasi di muka merupakan awalan sebagai gambaran umum tentang
lingkaran setan rantai kapitalisme terputus itu ternyata mungkin. Yang
jelas, tradisi gerakan kemandirian ekonomi ini sudah saatnya perlu
dimulai, agar, seperti yang disitir Aidit, pengalaman-pengalaman
(berkoperasi) ini kelak akan berguna bagi gerakan koperasi yang lebih
tinggi (sosialisme).***
*) Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan pada
Sekolah Politik Agraria yang diselenggarakan HMI Komisariat Fisip
Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto tanggal 8 Juni 2015.
Dipublikasian di sini untuk tujuan Pendidikan.
Kepustakaan:
Aidit, D.N. 1963. Peranan Koperasi Dewasa Ini. Dept. Agitprop CC PKI
Antaranews, 2015. Walhi Perkirakan konflik Agraria Akan Naik, Antaranews 8 Februari 2015 diakses dari http://www.antaranews.com/berita/478765/walhi-perkirakan-konflik-agraria-akan-naik-tahun-ini tanggal 22 Mei 2015
Arsyad, I, 2012. Kusutnya Keagrarian Kita, Kompas 25 September 2012 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/09/25/03465522/Kusutnya.Keagrariaan.Kita tanggal 22 Mei 2015
Hansen, M dan Pleasant, L, 2015 “Local Food With a Big Twist: Oregon Super-Cooperative Takes Aim at the Corporate Food System,” Yes! Magazine, 18 Februari 2015 diakses dari http://www.yesmagazine.org/new-economy/local-food-with-big-twist-our-table-sherwood. tanggal 23 Mei 2015
Faedlulloh, D, 2014. Membangun Koperasi Progresif diakses dari http://indoprogress.com/2014/01/membangun-koperasi-progresif/ tanggal 22 Mei 2015
Swasono, S.E, 2000. Globalisasi, Kompetisi, dan Kooperativisme, paper disampaikan pada “International Cooperative Alliance (ICA), First Asia Pacific Cooperative Forum” di Singapura pada tanggal 27 Juni 2000.
0 komentar:
Posting Komentar