Korupsi di Daerah: Upaya Administrasi Publik dari Perspektif Anti-Moral

Oleh: Dodi Faedlulloh

Latarbelakang
Pasca semangat reformasi mencuat, pemerintah lokal berbondong-bondong dan bereuforia menuntut otonominya. Pesta demokrasi di Indonesia pun semarak dengan spririt desentralisasi. Terlebih, karena kepenatan selama tiga puluh dua tahun negeri ini dikuasai rezim otoritarian yang sentralistik, desentralisasi pun dipacu secepat mungkin guna mencapai akselerasi otonomi daerah. Namun cerita tidak sesuai skenario, desentralisasi yang diusung sebagai anti-tesis dari kelumpuhan sentralisme justru secara memperlahan menampakan efek sampingnya.

Terbaru, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan informasi sepanjang tahun 2013, sebanyak 35 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Data tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun 2012, dimana 34 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi [1]. Kemudian ICW pun mencatat dari 267 kasus korupsi di semester II 2013, ada 262 kasus atau 98,12 persen kasusnya terjadi di tingkat daerah [2]


Hal ini tentunya menjadi problem yang bisa menjadi endemik bila tidak segera dituntaskan secara seksama. Raja-raja kecil terus akan ‘menyebar’ dan konsekuensinya yang menjadi korban tak lain adalah rakyat. Padahal semangat otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi daerah. Dengan desentrasliasi, daerah menjadi subjek pembangunan, tak lagi sekedar menjadi objek atas ‘kedaulatan’ dirinya sendiri. Semangat yang menggebu ini pun secara over termanifest dalam bentuk proses pemekaran daerah secara besar-besaran. Dan praktik korupsi menjadi noda hitam selalu terjadi dalam proses pemekaran tersebut.


Meminjam hasil riset World Bank Tahun 2006 menjelaskan modus-modus korupsi yang dilakukan di daerah, untuk legislatif dilakukan dengan cara memperbanyak dan memperbesar mata anggaran dalam RAPBD, menyalurkan APBD kepada yayasan milik anggota DPRD serta memanipulasi dana kegiatan atau perjalanan dinas. Kemudian di tingkat eksekutif, korupsi dilakukan dengan menggunakan sisa dana tanpa prosedur, penyimpangan prosedur pengajuan, pencairan dana kas daerah, pemakaian sisa dana APBD serta memanipulasi proses pengadaan barang dan jasa.


 Upaya Ilmu Administrasi Publik
Korupsi secara dominan terjadi di birokrasi, yang tak lain merupakan lokus dari kajian ilmu administasi publik. Oleh karena itu khazanah ilmu ini harus diperluas, tidak semata memotret fenomena korupsi ini sebagai tindak moral ataupun sekedar khilaf-administratif. Ada sisi ekonomi-politik yang tidak bisa dilepaskan dari cara menjelaskan ihwal korupsi ini, maka perlu analisa struktural yang kompeherensif sebagai alat bantu dalam memahami korupsi di daerah.


Dalam beberapa diskusi kecil seringkali penulis temukan jawaban moralistis menyoal tindak korupsi ini. “Tergantung orangnya” jawaban simplistis yang sering didengar. Terdengar seakan mendekati kebenaran. Namun justru secara inheren jawaban demikian menuai problematikanya.


Pola dan modus korupsi yang terjadi di setiap daerah memiliki perbedaan. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, melulu korupsi yang terjadi berkait dengan perizinan tambang dan alih fungsi lahan. Sedangkan daerah lain biasanya terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa.


Kembali ke belakang, korupsi ini tidak bisa lepas dari situasi ekonomi-politik yang menjadi basis strukturnya. Kita bisa mengingat betapa besarnya ongkos politik hari ini untuk sampai pada jabatan di daerah. Dan besarnya dana politik yang harus dikeluarkan tidak berbanding lurus dengan pendapatan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Hal ini relevan dengan temuan ICW pada 2010 yang menyimpulkan bahwa tindakan korupsi para kepala daerah memiliki benang merah dengan pelaksanaan pilkada. Tindakan para bupati dan wali kota, bahkan gubernur, menyalahgunakan anggaran daerah dipakai untuk mengembalikan ongkos politik dalam proses pilkada. Celah-celah regulasi biasanya kerap dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk memupuk anggaran. Kemudian soal pengawasan di daerah pun menjadi soal yang melulu tidak bisa berbuat banyak. 


Yang Bukan Moral
Berangnya masyarakat dalam melihat korupsi yang selalu terjadi di daerah selalu dibarengi dengan ketergesa-gesaan penilaian. Bisa dikatakan secara populis jawaban yang terlontar korupsi karena kurangnya moral dari para pejabat publik. Oke, moral dalam artiannya yang paling abstrak, memang diperlukan oleh manusia. Tetapi moralisasi dalam analisa politik menjadi suatu hal yang bukan hanya problematik namun juga berbahaya, karena perspektif ini cenderung mengabaikan akar permasalahan, mendiskon semua penjelasan menjadi penjelasan tentang human nature atau fitrah manusia yang pada dasarnya buruk. Oleh karena itu administasi publik perlu mengkaji ihwal korupsi ini secara analisa stuktural yang mendalam, sehingga tidak terjebak dalam permukaan.


Perspektif moralistis dalam analisa kasus korupsi cenderung ahistoris. Ahistoris karena tidak meletakan latar belakang kondisi ekonomi-politik ini dengan sistem bawaanya yang terjadi hari ini sehingga perspektif moralis dan bias aktor politik ini terlihat abai atau enggannya melihat faktor-faktor struktural dalam memahami fenomena politik. Kasus korupsi juga perlu dilihat dalam kacamata struktural untuk membantu memahami lebih dalam mengapa setelah sekian tahun proses reformasi politik berjalan, korupsi masih menjadi permasalahan utama yang juga merambat ke sektor-sektor lain seperti politik lokal, kebijakan desentralisasi, hubungan agama-negara, profesionalisasi partai politik dan masih banyak bidang-bidang lain.


Menjadikan korupsi menjadi permasalahan ‘individual moral hazard’ maka mencukupi diri dengan pendekatan penegakan hukum saja. Penegakan hukum, kendati penting, tidak lah cukup. Perspektif ekonomi-politik dalam kasus korupsi memberikan pemahaman baru bahwa korupsi dapat terjadi bukan hanya karena ‘individual moral hazard’ melainkan juga karena permasalahan struktur hubungan politik dan pemodal, ada relasi kapital yang mencipta situasi yang koruptif. Seperti disinggung di muka, daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah kerap terjadi tindak korupsi terkait dengan perizinan tambang dan alih fungsi lahan. Sedangkan lainnya biasanya terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. Sehingga tradisi suap-menyuap menjadi sesuatu yang harus meng-ada guna mengstabilkan sistem yang hidup. Meminjam perkataan Marx, “Ide-ide yang berkuasa di tiap-tiap jaman adalah ide-ide kelas penguasa” tampaknya menjadi benar adanya. Korupsi sebagai ‘ide’ penguasa terlanggengkan oleh pasifnya masyarakat.


Korupsi Sebagai Watak Sistem


Keberadaan tindakan korupsi yang terus berlanjut, bagaimanpun mempengaruhi kondisi masyarakat dalam memandang masa depan negeri ini. Ada yang masih bersemangat dan tidak sedikit yang menjadi tak acuh. Keacuh-takacuhan masyarakat adalah dampak sistemik dari proses pendidikan politik yang tak berimbang. Karena bila masyarakat mendapat pendidikan politik yang kompeten, niscaya tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban penindasan penguasa yang padahal dipilih oleh masyarakat sendiri. Di sini terlihat jelas partai yang mempunyai fungsi sebagai sarana sosialiasi politik tidak berhasil menjalankan fungsinya tersebut.


Bila memandang korupsi dari sudut pandang Marxian, korupsi justru memang sudah menjadi watak rezim yang kapitalistik atau korupsi sudah inheren dalam kapitalisme itu sendiri. Ketika pemerintahan dikuasai oleh segelintir para elit, beitu juga elit di daerah yang memuja kapital dan juga didukung oleh kapital pula, maka salah satu buah hasil tersebut adalah korupsi.


Sebuah riset yang dilakukan Joel S. H dan Daniel Kaufmann (2003) menunjukkan bahwa korupsi memiliki kecenderungan untuk terjadi pada negara-negara di mana birokrasi berada pada posisi tawar yang lebih lemah daripada sektor swasta. Pada situasi seperti itu, terdapat tendensi terjadinya kerjasama terselubung (illicit) antara sektor swasta dan sektor publik dalam penyusunan peraturan-peraturan dan kebijakan publik.


Dari penjelasan di muka, maka perlu suatu terobosan dengan merubah, baik secara revolusioner ataupun reformasi, sistem yang hari ini begitu hegemonik. Perlu ada sistem yang bisa memutus memutus hubungan pemodal-penguasa. Bisa kah?

1]http://nasional.kompas.com/read/2014/02/02/2241045/2013.35.Kepala.Daerah.Jadi.Tersangka.Korupsi. diakses tangal 3 Februari 2013
2]http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/02/02/n0d9vj-daerah-rawan-kasus-korupsi diakses tangal 3 Februari 2013 

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma