Oleh: Dodi Faedlulloh
Sebagai
satu disiplin ilmu, administrasi publik tidak bisa lepas dari pengaruh
ilmu sosial lainnya, tak terkecuali politik, baik secara pengaruh
diskursus ataupun ragam praktiknya. Secara dialektis, hubungan
di antaranya mengalami pasang surut. Layaknya dalam khazanah keilmuan
lain, dalam administrasi publik telah terjadi ragam perdebatan oleh para
pemikirnya hingga banyak mengubah wajah administrasi publik hingga hari
ini, termasuk kaitannya dengan politik. Dari kacamata historis menunjukkan perkembangan administrasi publik berangkat dari ilmu politik. Chandler dan Plano (1988) sendiri menyatakan teori admiministasi publik dihasilkan atau sebagai akibat dari kegiatan politik guna memperbaiki kinerja administrator publik. Tentang hal ini kita bisa
meminjam hasil pemetaan Nicholas Henry (1985) yang menjelaskan lima
paradigma dalam administrasi publik. Adapun fase-fase paradgima tersebut
sebagai berikut:
Paradigma I : Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Paradigma II: Prinsip-Prinsip Administrasi Publik (1927-1937)
Paradigma III Administrasi Publik Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Paradigma IV: Administrasi Publik Sebagai Administrasi (1956-1970)
Dari
masing-masing paradigma tersebut ditandai berdasarkan lokus dan
fokusnya. Lokus adalah tempat menggambarkan tempat ilmu itu berada
sedangkan fokus adalah yang menjadi kajian atau pembahasan penting dalam
adminsitasi publik. Pada kesempatan ini penulis lebih menyorot kuatnya
relasi antara administrasi publik dan politik pada paradigma pertama dan
ketiga.
Paradgima
pertama, dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926) hadir
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan trias politica dan menggantinya
dengan pemisahan politk dan administrasi. Para pengusung gagasan
paradigma ini ada Frank Goodnow, Woodrow Wilson, dan Leonard White.
Dalam paradigma yang berkembang pada awal 1900an ini memisahkan jelas
antara peran politik dan administrasi publik. Proses politik yaitu
pembuatan kebijakan sedangkan administrasi publik adalah pelaksana
kebijakan. Lokusnya tak lain adalah birokrasi pemerintah, sedangkan
fokus pada paradigma ini masih belum begitu jelas. Pada zaman ini
administrasi dipamahi sebagai pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintah
dan mengimplementasikan kebijakan publik. Dengan demikian, administrasi
harus dipisahkan dengan politik, seperti yang dijelaskan oleh White, politik tidak boleh mencampuri urusan
administrasi, bahkan ia harus bebas nilai. Sederhananya dalam perjalanan parigma pertama ini yaitu adanya semangat pembeda antara praktik
administrasi dan politik.
Paradigma
ini menuai kritik tajam karena secara epistemologi lemah fondasinya.
Khususnya pada fokusnya overlapping dengan politik. Dinamika yang
terjadi dalam khasanah administrasi publik selalu memperkaya gagasan
baru. Begitu juga ada yang ditangkap oleh Nicholas Henry saat melihat
pergeseran paradigma ilmu administasi yang hendak merajut kembali tali
kasih dengan ilmu politik (Paradigma III Administrasi Negara Sebagai
Ilmu Politik [1950-1970]). Kajian-kajian yang menjadi perhatian pada
paradigma ketiga ini lebih banyak membahas tentang wilayah kepentingan
yang tak lain merupakan porsi kajian politik. Namun sayang usaha menjalin kembali tali silaturahmi ini
tidak terbangun. Para cendikiawan politik saat itu sudah melupakan
administrasi publik. Bahkan pada agenda pertemua ilmuan ahli politik
seperti APSA (American Political Science Association), mereka menghapus
administrasi publik pada program tersebut. Melihat situasi seperti ini,
Waldo sebagai seorang pemikir administrasi publik melakukan protes keras karena menilai administrasi publilk sebagai
liyan dari politik, sebagai kajian kelas dua. Latar belakang inilah
yang kelak menjadi penyemangat administrasi publik untuk mencari
jatidirinya sendiri sebegai disiplin ilmu yang mandiri, yang membawa
dirinya pada fase administrasi publik sebagai administasi publik
Dari
penjelasan singkat di atas, dapat ditangkap bahwa relasi antara
administrasi publik dan politik dalam perjalanan horison intelektualitas memang
tidak bisa dilepaskan begitu saja. Bahkan sampai hari ini. Masing-masing
memiliki perannya sendiri. Yang jelas perkembangan administasi publik
begitu cepat. Terkait dengan hal ini bila kembali mencermati pembabakan
Nicholas Henry yang menjelaskan paradigma kelima administrasi negara
sebagai administrasi negara dimulai tahun 1970. Lantas pertanyaannya
apakah paradigma ini dalam situasi kontemporer masih relevan atau tidak? Lalu kaitannya dengan politik seperti apa? Mengenai hal ini, bisa
dijembatani lewat buku yang ditulis Denhardt dan Denhardt (2003). Dalam
konteks ini, duet penulis secara ringkas memetakan tipologi serta
karakteristik paradigma administrasi publik yang dibagi ke dalam tiga
tipologi, yakni Old Public Administration (OPA), New Public Management
(NPM) dan New Public Service (NPS).
Paradigma
OPA tidak bisa dilepaskan dari paradigma klasik dalam administrasi
negara yang dikemukakan oleh Henry. Walaupun banyak membicarakan
nilai-nilai seperti efektivitas dan efisiensi, akar sangatnya politik.
Teori Tipe Birokrasi Ideal khas Weberian melekat pada implementasi paradigma ini. Sedangkan gagasan mengenai NPM mengambil substansi nilai-nilai
entrepreneurial government dari Osborne dan Gaebler. Paradigma NPM merupakan kritik terhadap OPA yang justru tidak berjalan secara efisien. NPM berupaya melekatkan nilai-nilai kewirausahaan kepada para pegawai organisasi publik. Negara dalam hal ini hanya berperan sebagai pemberi arah, sedangkan yang mendayung biarkan diserahkan kepada sektor-sektor swasta. Maka terminologi umum yang sering muncul pada paradigma ini yaitu debirokratisasi, deregulasi, dan privatisasi.
Secara
epistimologis, NPS berakar dari filsafat politik tentang demokrasi.
Denhardt dan Denhardt menspesifikasikkannya menjadi demokrasi
kewargaaan. Dengan kata lain berarti Denhardt dan Denhardt mencari akar
ideologis pada paradigma NPS dari teori-teori politik, oleh karenya
melalui pemikiran mereka administrasi publik kembali menghadirkan
‘suasana politik’nya. Akan tetapi politik yang melekat dalam paradigma
ini bukan dalam makna politik seperti yang tertuang pada OPA yang
memiliki karakteristik adminstrasi yang tunduk pada kekuasaan pemerintah
sehingga orientasi dalam formulasi maupun implementasi kebijakan publik
dimonopoli oleh pihak yang berkuasa. Bila dalam OPA, politisasi
dilakukan dengan upaya netralitas birokrasi/administrasi dari politik,
sedangkan makna politik dalam NPS sendiri, adalah politik yang
emansipatoris. Justru ruang-ruang deliberatif semakin diperluas dengan
melibatkan banyak aktor dalam menentukan kebijakan publik ataupun
pelayanan publik.
Relasi Administrasi Publik dan Politik di Indonesia
Dinamika
perkembangan wacana keilmuan administrasi publik tidak hanya ramai di
negara asalnya, di Indonesia pun hiruk pikuk keilmuan ini berjalan
dinamis, termasuk di dalamnya kaitan dengan politik. Khususnya dalam
medan praktik, dinamika tersebut sangat terlihat. Rezim pemerintahan
begitu tampak memberi pengaruh, kalau tidak disebut hegemonik, terhadap
praktika administrasi publik di Indonesia.
Saat
Orde Lama berkuasa, politik merupakan panglima. Oleh karenanya
administrasi publik kala itu tunduk di bawah kekuasaan politik. Ada
istilah yang terkenal pada masa itu, yaitu retooling apartur. Soekarno
sebagai pemimpin membuat kementerian khusus yang bertugas melakukan
retooling terhadap para pegawai organisasi publik yang kontra revolusi.
Orde
Lama diganti Orde Baru yang kemudian melakukan perubahan mendasar pada
tata kelola birokrasi dengan cara meng-apolitikan birokrasi. Birorkasi
dibuat netral terhadap politik, namun lambat laun birokrasi justru
dijadikan media untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru. Akronim yang
paling terkenal dengan ABG-nya. Yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar. Hal
yang mencolok dari praktik relasi administrasi publik dan politik pada
masa ini yaitu sentralisasi yang berlebihan. Hal ini berdampak
terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek lokalitas.
Pembangunan disusun secara terpusat, akhirnya banyak kebijakan yang
telah dibuat gagal dalam implementasinya.
Setelah
tiga puluh dua tahun berkuasa, akhirnya Rezim Orde Baru runtuh, lahir
harapan dalam payung reformasi. Semangat ini kemudian menengahkan
isu-isu seperti anti-korupsi, demokratisasi dan desentralisasi dalam
administrasi publik di Indonesia. Namun yang jelas pengaruh politik
terhadap administarsi publik pada era kontemporer tentulah sangat lebih
kompleks. Apalagi bila menengok di daerah-daerah pasca desentralisasi,
banyak variabel politik yang memberi pengaruh pada dunia administrasi
publik di daerah. Oleh karena itu administrasi publik sebagai disiplin
ilmu tidak bisa berkacamata kuda dalam upaya menyelesaikan
masalah-masalah publik. Setiap analisa yang ditawarkan harus bisa
melihat suatu masalah dari segala sisi, sesuai dengan situasi zaman,
sehingga administrasi publik tetap menjadi disiplin ilmu yang kekinan
dan komprehensif dalam penjelasannya. [*]
0 komentar:
Posting Komentar