Respon Tulisan dari Muhammad Al-Fayyadl
Oleh : Dodi Faedlulloh
Oleh : Dodi Faedlulloh
Kemarin, tidak sengaja saya menemukan tulisan yang asyik berjudul ‘Santri dan Marxisme’, ditulis oleh Muhammad Al-Fayyadl, alumni Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah-Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah mencicipi suasana pesantren di Pondok Pesantren Nurul Qur’an (Kraksaan), Pondok Pesantren Nurul Jadid (Probolinggo), dan Pondok Pesantren Annuqayah (Sumenep Madura) . Membaca tulisan tersebut seolah menjadi cermin bagi pribadi. Baik, latar belakang saya adalah seorang yang pernah menghuni sebuah pondok pesantren, walaupun tak pantas rasanya bila predikat santri harus dilekatkan pada nama saya, masih belum mumpuni, kapasitas ilmu agama saya masih belum lah mantap. Tapi predikat Marxist pun tak pernah saya klaim, karena saya memang bukan Marxist. Adapun sisipan klaim Marxist pun tentu harus memenuhi prasyarat-prasayarat tertentu, karena cap Marxist tidak serta merta diberikan begitu saja ketika seseorang sering mengutip adigum-adigum dari bapak berjanggut lebat itu.
Ungkapnya, tulisan Al-Fayyadl adalah refleksi pribadi yang menjelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan pasca seorang santri yang melihat realitas yang sarat dengan kontradiksi ekonomi-sosial lalu berkenalan dengan Marxisme. Ada dua kemungkinan, pertama seorang santri yang akan memeluk Marxisme dengan sepenuh hati, dan dengan demikian, menerima konsekuensi-konsekuensi prinsipil dari Marxisme sebagai suatu ideologi perlawanan yang paling tegas dan keras terhadap tatanan sosial di mana ia hidup. Kedua, seorang santri yang beradaptasi dengan Marxisme, namun juga mengadaptasikannya dengan nilai-nilainya sendiri yang dipelajarinya di pesantren. Dengan masing-masing memiliki konsekuensi tersendiri.
Karena tulisan tersebut adalah refleksi pribadi, bukan kajian atau kasus tertentu, dia menjelaskan latar pesantren (pembacaan saya) si santri dengan corak tradisional dengan khas kajian kitab kuning dsb. Padahal hari ini praxis pondok pesantren tidak melulu diasosiasikan sebagai lembaga keagamaan yang tradisional, karena di tengah arus globalisasi yang tidak bisa tercegah yang dalam bahasa Giddens juggernaunt, pesantren menceburkan diri untuk merubah mindset masyarakat bahwa pesantren pun bisa me-modernkan diri. Dalam satu dekade ini, hadir pesantren-pesantren dengan porsi fivety-fivety (fivety pesen ilmu agama-fivety persen ilmu umum), penggunaan bilingual (Arabic dan English) sebagai daily language, fasilitas internet untuk akses informasi, dan kultural yang lebih terbuka sehingga seorang santri sejatinya sebelum ia keluar dan bertemu dengan realitas pun bisa mengenal Marxisme lebih dulu, seandainya dia mau. Apalagi bila ada pengajar yang menjelaskan tentang imprealisme dan hegemoni asing (saya pernah mendapatnya itu dari seorang ustadz di pesantren), seorang santri dituntut untuk tidak sekedar mengutuk, santri harus bisa menganalisa kenapa ini-itu terjadi. Nah dari sana muncul problemnya, dengan klaim pesantren lebih modern, akses untuk wacana Marxisme masih tertutup secara kurikulum. Itu yang disayangkan, jadi seorang santri yang kebetulan bertemu Marxisme sejak awal, dialah pasti santri yang tekun dan mau belajar apa saja, tidak dogmatis dan yes-man dengan apa yang disuapi oleh para pengajar. Sehingga analisa yang dia lakukan tidak sekedar sentiment moral, religi, atau metafisis.
Seperti yang dialami, nuansa semi-feodalistik dalam pesantren modern tentu masih ada. Kontradiksi sosial saya temukan, semacam adanya segala perangkat peraturan yang dibuat tidak berlaku egaliter, santri tidak boleh begini, tapi ustadznya melakukan. Kondisi tersebut seolah melanggenkan dan mewajarkan tentang ketidaksetaraan. Ketika seseorang memiliki modal simbolik tertentu, dia berhak mendapat previlese tertentu juga. Saya pun dulu berhasil terjebak dalam pewajaran, walaupun sesekali melawan (berontak) secara personal, tapi tetap saya ‘kalah’ dan terkena iqob (hukuman).
Secara penuh saya mengaffirmasi refleksi dari Al-Fayyadl, disini saya ingin sedikit menambahkan, sekedar tambahan wacana kecil dari orang-orang yang pernah punya latar belakang pesantren. Seorang santri yang besar di pesantren, lalu terlempar dalam realitas urban yang sarat kontradiksi tidak serta merta akan bisa mengamini Marxisme. Jadi santri yang Marxist bukanlah keniscayaan, bisa saja si santri setelah melihat dunia luar justru terjun ke dunia bisnis yang begitu menggiurkan, menjadi pendakwah yang mediokrat, dan banyak pilihan lainnya. Lagi-lagi jalan yang mengarahkan seorang santri menuju Marxisme adalah kesadarannya. Atau alasan perihal kebetulan, semacam pendidikan lanjut yang digeluti si santri. Karena kebetulan dia melanjutkan pendidikan yang mempelajari kajian ilmu sosial atau filsafat, sehingga mampu membedah dengan metode non-metafisis dengan fondasi materialisme. Atau kebetulan karena jejaring sosialnya, misal punya kawan dari elemen gerakan, dari mahasiswa yang menggeluti ilmu sosial dan humaniora yang secara kebetulan selalu menyuguhkan tentang wacana kritis kepada si santri.
Dengan alasan-alasan kemungkinan tersebut, saya sepakat dengan yang disampaikan Al-Fayyadl, namun kecendrungan yang paling memungkinkan, bagi saya, adalah santri yang beradaptasi dengan Marxisme, namun mengadaptasikannya dengan nilai-nilainya sendiri yang dipelajarinya di pesantren. Karena seorang santri akan selalu mengkomparasikan sesuatu yang baru diterima dengan apa yang telah diterima sebelumnya. Namun bila memang term Marxist harus dilekatkan, itu kurang tepat, bagi saya , masih agak Marxist atau agak kekiri-kirian untuk menyebut para santri yang beradaptasi dengan Marxisme.
Merujuk dari tesis Norman Geras yang berjudul ‘What Does It Mean to Be a Marxist?’ yang bisa didapat dari Global Discourse : A Developmental Journal of Research in Politics and International Relations menjelaskan setidaknya label Marxist seseorang bisa dilhat secara personal, intelektual dan sosial-politiknya yang satu-sama lain saling berhubungan atau bisa terpisah (come apart).
Untuk lingkup personal, label Marxist versi Geras secara pribadi ketika ditanya apakah dia Marxist atau bukan, dia menjawab iya, dengan tiga alasan berikut :
“(i) that historical materialism is broadly true – or perhaps it would be more accurate to say here, where I’m not spelling out the whole answer with its qualifications, true enough; (ii) that Marxism involves an ‘enduring commitment to the goal of an egalitarian, non-exploitative society’; and (iii) that I valued ‘Marxism’s focus upon what is sometimes called the problem of agency: the problem of finding a route, the active social forces, between existing historical tendencies and the achievement of a substantially egalitarian society’.”
Seorang yang memeluk Marxist tentu harus mempercayai metode analisisya, termasuk materialisme historis. Seorang santri (biasanya) tidak serta merta sepakat dengan materialisme historisnya Marx, begitu pula materialism dialetikanya. Materialisme historis adalah penerapan pandangan materalis dan metode dialektis dari filsafat materialisme dialektik pada gejala sosial atau di dalam masyarakat. Pandangan materialisme historis yakni pandangan tentang faktor faktor pokok yang menentukan perkembangan sejarah. Pandangan ini bersamaan dengan teorinya tentang revolusi merupakan bagian dari konsep Marx yang paling berpengaruh dan tetap merupakan inti dari segala varian Marxisme. Saya rasa, banyak literasi yang menjelaskan materialisme historis ini yang penjelasannya lebih mendalam.
Sosialisme Marx berdasarkan pada penelitian syarat-syarat obyektif perkembangan masyarakat. Marx menolak usaha usaha yang bersifat moralis belaka, menolak pendasaran sosialisme pada pertimbangan-pertimbangan moral. Nah, dalam pembacaan saya, ketika seorang Marxis dituntut untuk bisa memberikan analisis yang non-moral yang tidak melabeli objek kritik secara normatif. Seorang santri biasanya masih ‘terikat’ dengan pola pemikiran metafisis dan tentunya moralis tadi. Walaupun memang tidak harus rigid (apalagi dogmatis), bagi saya, ketika seorang santri yang masih terjebak menterjemahkan kondisi objektif sebagai sesuatu yang bersifat ilahiah, misal masih adanya paradigma karena pemimpin di tempat ini koruptif dan tidak sholeh maka Tuhan memberi cobaan, karena manusia-manusia di tempat itu penuh dosa, maka Tuhan pun kembali memberi ujian, dengan berupa krisis ekonomi dan sosial, berarti si santri, saya katakan, masih ‘gagal’ dalam ber-marxist.
Berikutnya commitment to the goal of an egalitarian, non-exploitative society. Saya kira, seorang santri yang belum belajar Marxisme pun akan sepakat. Tapi kesepakatannya masih menjadi tanda tanya. Karena konsepsi menghisapnya (eksploitasi) yang ada dalam kepala para santri bisa menjadi relatif. Bisa saja, baginya ketika seseorang mempekerjakan orang lain atas dasar upah semata bukanlah tindakan yang eksploitatif, padahal Marxisme tidak demikian, meminjak perkataan John Dewey adalah sesuatu yang aliberal dan amoral mendidik anak-anak untuk bekerja ‘tidak dengan bebas dan cerdas, namun demi upah kerja semata’, karena jika demikian, aktivitas kerja mereka sama sekali tidak merdeka karena tidak berpartisipasi secara merdeka di dalamnya. Itu yang perlu dibedah, agar watak konfromis tidak menghinggap di kepala santri-santri yang belajar Marxisme. Tapi ini tidak akan terjadi bila si santri tekun mempelajari Marxisme secara mendalam.
Fokus marximse adalah perjuangan menuju egalitarian society, tentunya untuk sebuah perjuangan akan butuh pengorbanan. Bagi mereka yang ‘mengimani’ Marxisme akan mengapresiasi capaian yang diharapkan dengan berbagai jalan. Seperti apa yang disampaikan Al-Fayyadl, pesantren adalah penjaga moderatisme paling berkarakter, yakni moderatisme keagamaan. Maka si santri yang belajar Marximse harus bisa menyingkirkan sikap moderat tersebut, karena bisa menjadi penyebab lunaknya kepada penguasa. Egalitarian society dalam lingkungan pesantren pun perlu diberlakukan. Ketika sistem semi-feodal masih menyelimuti kehidupan pesantren atau bahkan justru malah dilanggengkan, walaupun kondisi kultural pesantren ada perbedaan, dalam bahasanya Al-Fayyadl karena terbangun dari loyalitas dan afeksi antara santri dan kiai, tapi menurut saya tetap tidak bisa dibenarkan. Siklus santri-ustadz-kiai justru bisa menjadi arena ‘balas dendam’ walaupun bisa diperhalus dengan argumen demi pendidikan.
Santri harus bisa mengumpulkan kekuatan sosial untuk menuju egalitarian society, sedikit bermimpi, kalau dalam setiap pesantren ada tadarus capitalnya Marx, proses pengumpulan kekuatan sosial dan menciptakan agen-agen perubahan tentu akan lebih cepat.
Dalam ‘being a Marxist’ versi Geras, selain ranah personal juga bisa dilihat dari intelektual dan sosio-politiknya. Untuk tahapan, hemat saya, ranah personal perlu dimantapkan, apalagi seorang santri.
Bagi Al-Fayyadl, ‘ketidaksetaraan’ dalam pesantren adalah penampakan lahiriah yang sulit dipahami oleh orang luar pesantren yang belum menyelami spiritualitas kesantrian karena menurutnya secara batin sudah ‘setara’. Tapi menurut saya, yang pernah merasakan hidup di dunia pesantren, justru ‘kesetaraan’ pun perlu berbentuk fisik, alur prosedur dari santri menuju ustadz atau kiai adalah benar tapi bukan berarti harus ‘membalas’, yang membuat para kiai berapologi ‘dulu saya juga gitu kok !’. Itu malah akan melanggengkan struktur yang timpang. Hasil dari pola asuh yang demikian, bisa jadi, akan menumbuhkan hasrat ‘berkuasa’, setidaknya hasrat menguasai santri-santri yang menjadi sub-ordinatnya.
Para santri “akan menemukan Marxisme-nya sendiri”, ujar Al-Fayyadl dalam penutup tulisannya. Bila memang demikian akan sukar untuk melanjutkan, karena memang setiap individu bisa dengan ‘bebas’ menginterpretasikan Marxisme sebagai teks, tapi sebagai metode, walaupun tidak mesti rigid (penyesuaian dengan konteks; mis struktur kultural), sesuai dengan pendirian sebelumnya, kalau memang label Marxist harus dilekatkan, maka praktika tidak boleh keluar dari arus Marxisme itu sendiri. Ya kalau tidak, berarti bukan Marxist, lebih tepatnya agak Marxist, atau kata kekiri-kirian menjadi predikat yang tepat bagi santri menemukan Marxisme-nya sendiri. Dalam bahasanya Martin Suryajaya, Marxisme sebagai metode yang ketat dan tindak kekiri-kirian itu berbeda. Karena tindak kekiri-kirian hanya bersumber dari sedikit pengetahuan tentang Marxisme. Tapi tenang saja, bila ada yang berhasrat ingin disebut Marxist, silakan saja, toh tulisan ini pun ditulis oleh seorang yang bukan Marxist, pun saya tidak punya wewenang apalagi sampai mengeluarkan sertifikat tanda lulus Marxist, jadi tidak perlu percaya. Percayai saja apa yang anda percaya ! []
2 komentar:
Fayyadl lebih paham akan Marxisme, dan kehidupan pesantren. Saya kurang tau apa yang dikritik anda. Lemah secara konsep.
Anonim, tulisan ini sama sekali bukan bentuk kritik atas gagasan Fayyadl, sebagai orang yang belajar tentang Marx lebih lama, tentu Fayyadl akan lebih paham tentang Marxisme daripada saya yang baru belajar Marx secara acak. Dalam kesempatan ini, saya sekedar menambahkan beberapa mozaik ulasan tentang dinamika kehidupan Pesantren yang kemudian dikaitkan dengan Marxisme. Sederhananya, kalau Marxist jadi Marxist-lah yang kaffah. Karena pembacaan saya, santri yang belajar Marx versi tulisan Fayyadl adalah orang yang ke-kiri-kirian.
Posting Komentar