Oleh : Dodi Faedlulloh
Beberapa waktu lalu saya pernah berdiskusi tentang standar moralitas bersama dua senior saya, Firdaus Putera dan Jajang yang baru datang dari Jakarta. Dari obrolan tersebut sempat mewunculkan wacana komparasi asketis dengan perilaku atletis. Firdaus menjelaskan tentang asketis, dari penjelasannya saya menangkap kalau asketis itu dimulai dari tradisi Kristani untuk melatih fisik, kehendak, pikiran, dan jiwa untuk memurnikan diri dari dosa, menguasai diri dan memurnikan sikap hati di hadapan Tuhan, serta menghilangkan berbagai penghalang untuk merasakan hadirat Tuhan. Kemudian atletis adalah seni melatih diri dan fisik, ya seperti yang sering dilakukan oleh pra atlet-atlet, baik saat akan menghadapi pertandingan ataupun tidak. Namun bukan itu yang saya sedang coba bawa dalam tulisan ini.
Esok harinya, salah satu himpunan mahasiswa di kampus saya menyelenggarakan kegiatan latihan kepenulisan dengan tajuk ‘kapitalis intelektual’. Entah karena sentimen (karena ada term ‘kapitalis’) atau apa, setelah membaca tema tersebut , tanda tanya berkeliling dalam otak saya, maksud dari paduan dua kata tersebut itu apa. Saya pun langsung menanyakan hal ini ke salah seorang panitia acara tersebut. “Iya Mas, jadi intinya kan, kalau menulis-nulis gitu, nanti hasil tulisannya bisa dijual gitu” ungkap seorang panitia. Oh I see !
Dari dua cerita tersebut, saya jadi ingin sedikit mendekontruksi dua term yang tiba-tiba terniang dalam pikiran, yaitu asketis dan kapitalis, yang keduanya saya coba lekatkan dengan kata intelektual. Jadi ada asketis intelektual dan kapitalis intelektual.
Sebenarnya saya masih galau dalam menulis ini karena harus membahas term intelektual. Setelah membaca intelektual kolektif Bourdieu yang ditulis Arizal Mutahir (2011), plus penjelasannya saat bedah buku, saya jadi kembali bertanya, lantas siapakah yang layak disebut kaum intelektual ? Jika saya menyebut para intektual adalah seperti mahasiswa yang merupakan output dari institusi pendidikan, Marx, Gramsci dan Althusser tentu akan menuduh saya sebagai agen kapitalisme pendidikan. Saya mempunyai keyakinan pribadi bahwa intelektual tidak sebatas hasil dari institusi dan sistem yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Walau tidak bisa menjelaskan secara eksplisit, saya yakin intelektual muncul bukan hanya hasil monopoli produk institusi pendidikan.
Membaca Asketis-Kapitalis
Douglas Burton-Christie (1993) menjelaskan bahwa asketisme adalah cara umum orang Kristen awal mengekspresikan kesalehan iman mereka. Namun dalam proses perjalanannya sempat ada kekeliruan dalam praksis asketis. Asketisme menjadi tindakan orang Kristen untuk melarikan diri dari kegiatan dan tanggung jawab di dunia dengan cara bertapa di tempat-tempat tersembunyi dan melakukan penyiksaan tubuh secara ekstrem. Kurang-lebih itu pula yang dijelaskan Firdaus kepada saya dan Jajang. Berarti jika asketis tersebut dipadukan dengan kata intektual definisinya pun tidak akan jauh-jauh beda. Asketisme intelektual, suatu sikap intelektual yang menjadikan kebenaran adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar oleh uang, jabatan, dan prestise. Ada semacam motivasi spiritual yang menyertai, di tengah arus hedonisme dan materialisme (dalam arti keseharian, bukan aliran filsafat) si intelektual memilih jalan hidup untuk mengabdi, merasa terpanggil, dan mendedikasikan intelektualitasnya untuk kebaikan umat, tidak mau terjerumus ke dalam kenikmatan duniawi.
Asketisme merupakan suatu pandangan dimana kesusah-payahan dan penderitaan adalah kebanggaan; mengingatkan kita akan nabi-nabi dan pertapa zaman dahulu. Sebuah perilaku yang mulia bila para intelektual hari ini melaksanakannya. Bila mengacu pada pandangan standar moralitas yang seringkali saya temukan dari orang-orang sekeliling saya, tentu predikat seorang ‘moralis’ akan dilekatkan kepadanya, daripada orang-orang yang dicap sebagai intelektual namun bergelimangan harta dan menjual seprofit-profitnya hasil buah pemikirannya.
Kemudian tentang si kapitalis intelektual, seperti yang dituturkan oleh seorang panitia acara kepenulisan kepada saya, yang menjual buah pemikirannya (tulisannya), kemudian si penulis (intelektual) mendapat hasil berupa uang. Dalam bahasa gamang remaja hari ini, perilaku demikian terkesan agak-agak gimana gitu. Apalagi bila term yang digunakan, kapitalis, sering diasosiasikan dengan hal negatif.
Mari mulai membedah ! Pertama apakah salah bila ada seseorang yang menjual hasil pemikirannya ? Menjual disini tidak bermakna tunggal seperti kata jual yang dioposisikan dengan beli. Misal gara-gara si A punya gagasan B, dengan gagasan B-nya tersebut si A akhirnya mempunyai jabatan tertentu yang bisa secara tidak langsung bakal menjadi pundi-pundi uang. Kita tidak perlu menjadi naïf, bukankah itu hal yang impas atau sesuai dengan hasil jerih-payahnya ? Itu juga rational choice si A dalam menghadapi masa depannya, hemat saya sah-sah saja, karena memang si A layak mendapatkannya. Bila nanti si A jadi berlaku semena-mena ketika memegang jabatan tersebut, itu beda kasus.
Kedua, mari membedah tentang kebanggan, kepuasan atau kenimatan intektual yang berasketis. Yang asketis merasakan kepuasan yang luar biasa karena menjadi orang ‘yang terpanggil’. Goenawan Mohamad pernah menyitir “kita dapat membayangkannya sebagai kenikmatan seorang borjuis yang diperoleh setelah ia menanamkan modalnya dalam keadaan penuh risiko di hari kemarin,”. Walau berbeda baik secara tujuan dan cara, nilai kenikmatan (klimaks) yang diperoleh oleh si intelektual yang asketis dengan borjuis yang disitir oleh Goenawan Mohamad bisa saja sama. Sama-sama puas.
Saya jadi teringat tulisannya Giras Basuwondo dalam prakata catatan produksi monolog kucing yang diperankan Butet Kartaredjasa Bulan Mei lalu. Dia ingin sekali mengatakan bahwa para seniman juga adalah manusia biasa tidak seperti yang dipercaya oleh pemerintah kalau orang yang bekerja di ranah kebudayaan adalah orang yang perkasa, yang selalu terbiasa miskin namun tetap jaya. Dari catatan tersebut saya menangkap kemiskinan yang melanda para seniman-budayawan itu bukanlah perilaku asketis, tapi lebih kepada permasalahan struktural : pemerintah lalai. Mereka bisa jadi ingin mengabdikan hidup dalam berkesenian, tapi tentu bukanlah kemiskinan yang jadi harapannya. Ini sekedar gambaran saja, ajakan saya untuk kembali berpikir cermat, jangan-jangan asketisme hanya jadi apologi semata.
Asketisme intelektual tentu bukanlah suatu yang haram, bahkan itu adalah perbuatan mulia. Saya sekedar khawatir adanya keterjebakan dalam memandang asketisme, kalau dalam penjelasannya Firdaus saat diskusi, pada zaman dulu sampai ada pemuka agama karena ingin bersikap asketis sampai mengurung diri, bahkan menyiksa diri dengan tidak makan. Hemat saya, Itu hanyalah perbuatan yang sia-sia. Kita jangan terlalu lugu, dengan berapologi ‘ini untuk kebaikan, ini adalah pengorbanan, ini adalah murni pengabdian, ini untuk sebuah proses’ yang malah menjadi bumerang bagi diri sendiri. Atau memang bisa saja ada orang-orang yang memang sengaja untuk menjebak diri, berlaku atletis tapi berapologi asketis sebagai candu?
Menjadi sosok kapitalis intelektual pun tak salah, sebagai homo economicus tentu manusia tidak akan pernah luput dari motivasi materi, ada pengorbanan, ada pula kompensasinya. Selama dalam garis yang tepat, saya kira sah-sah saja. Tapi kita pun perlu kritis, sejarah intelektual kerap dilekatkan dalam arena kekuasaan. Apalagi ditengah arus semangat kapitalisme yang seringkali secara tidak sadar nilai-nilai turunannya masuk dalam relung manusia, seperti hedonisme dan pragmatisme. Yang ada manusia benar-benar menjual diri atau melacurkan intektualitasnya untuk status quo kekuasaanya yang telah dimilikinya. Bahaya !
Sulit untuk menyimpulkan, karena dalam praksisnya kedua jenis intelektual yang saya sajikan menjadi bias. Saya tidak berhak untuk menilai mana yang benar mana yang salah. Saya hanya mengusulkan biarkan dan bebaskan saja makna ‘intelektualitas’ beredar. Siapa saja bisa bisa mempunyai predikat intelektual. Yang asketis adalah intektual, begitu juga yang berprilaku kapitalis adalah intektual pula. Selanjutnya, terserah anda !
9 komentar:
tulisan yang berbobot,
Keren..mencirikan seorang mahasiswa kritis banget..
Hidup sang revolusioner!!!
"Saya tidak berhak untuk menilai mana yang benar mana yang salah. Saya hanya mengusulkan biarkan dan bebaskan saja makna ‘intelektualitas’ beredar. Siapa saja bisa bisa mempunyai predikat intelektual. Yang asketis adalah intektual, begitu juga yang berprilaku kapitalis adalah intektual pula".
Saya setuju dengan pendapat anda,terimakasih artikelnya...
Si mas kritis banget ya, sampai sedetail ini penjelasannya :D
Saya sendiri aja mesti baca berulang kali tiap kalimat hanya untuk mengerti artinya.
Hadeh..mahasiswa macam apa saya ini? wkwkwkw... :D
Sorry bro baru sempat mampir :D
@Anonim -- dari bahasanya gua tahu, ni Lo Suhe !
@Abdur Rosyid -- Terimakasih pula
@Zippy -- Ah ga gitu juga kali Zip, og iya kemana aja ? Papua aman gan ?
gak mudeng bacanya hehehe
Salah benar itu relatif, dan membenarkan yang benar bagi diri sendiri belumlah cukup membuktikan kebenaran..
jujur sy tidak membaca semua dari artikel sobat, tetapi sy punya pandangan sendiri tentang apa itu intelektual ya ada pada manusia...
sederhana tetapi sangat sulit, jika seseorang dapat menyelami hawa nafsunya dalam arti mengenalinya kemudian dapat mengendalikan. Bersamaan dengan mengolah rasa antara akal pikiran dan nurani....maka akan menjadi keniscayaan hakiki dari seorang untuk menjadi manusia murni sejati.....setelah itu semua yang dipandang menjadi ilmu, semua yang dipegang akan membawa manfaat bagi semua....itulah intelektual.
waduh bahasanya ngga umum banget, seperti nya susah dicerna orang awamseperti saya... ^_^
mengenai salah dan benar hanya pribadi kita yg bisa menilai karena cara pandang orang itu berbeda beda.Kalau menurut saya pribadi intelektual adalah orang yg pandai menghargai orang lain danbisa menyesuaikan diri dimanapun dia berada...
blogwalking gan :)
Posting Komentar