Setelah dihangatkan dengan berita munculnya artis-artis dalam pilkada kini muncul fenomena baru yaitu tampilnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari kalangan keluarga. Menjadi suatu tanda tanya besar melihat fenomena ini, hal ini seakan menutup ruang dan kesempatan bagi ranah demokratisasi yang substansial. Di beberapa tempat yang akan maju dalam arena pertarungan adalah yang mempunyai hubungan keluarga dengan incumbent antara lain seperti di Kediri, Ngawi, Malang, Bantul, Sukoharjo, Indramayu, Bone Bolango dan Labuhanbatu. Ada suami, istri, anak , kakak dan juga adik yang akan ikut bersaing memperebutkan kursi kepala daerah.
Berbicara tentang pembangunan rezim keluarga mengingatkan kita kembali saat pemerintahan zaman orde baru. Saat itu begitu kuatnya hubungan keluarga yang mangalir dalam pemerintahan, akan tapi situasi saat itu memang begitu sangat mendukung. Dengan sistem yang otoriter dan pemenjaraan aspirasi warga pada kala itu membuat para penguasa bisa bebas melakukan apa yang dikehendakinya.
Reformasi berhasil menghancurkan orde baru, lantas apakah usaha pembentukan rezim keluarga oleh penguasa berhenti sampai disitu ? Saya rasa tidak. Bisa kita lihat dalam kepemimpina SBY saat ini, Beliau tampak berusaha melakukan hal sama seperti yang dilakukan pemerintah orde baru. Hadirnya sang putera,Ibas, dalam menududuki kursi di senayan adalah dugaan cikal bakal akan dilanggengkannya rezim keluarga SBY, bahkan sempat terdengar SBY juga akan menyiapakan Ibu Ani Yudhoyono sebagai pengganti dirinya untuk memegang jabatan kursi orang nomor satu di Indonesia, bila ini terjadi menjadi suatu hal yang konyol saya kira.
Miskin Kader
Tampaknya apa yang dilakukan oleh pemimpin nasionalnya menjadi sebuah inspirasi berharga bagi mereka yang tengah menduduki jabatan kepala daerah dan partai politik pengusungnya. Proses pencalolan yang diwarnai aroma hubungan keluarga patut dikritisi khususnya efektivitas peran partai politik dalam melakukan kaderisasi.
Partai-partai kini seolah tidak mau belajar dari pengalaman. Partai-parta dianggap gagal dalam menyiapkan kader-kadernya untuk pilkada tahun ini sehingga memilih jalan pintas dengan menghadirkan sosok calon yang mempunyai popularitas. Kalau tidak artis ya para keluarga dari incumbent.
Hal ini jelas cukup membahayakan bagi demokrasi dan keberlanjutan pemerintahan lokal. Dikhawatirkan dengan adanya rezim keluarga dalam pemerintahan lokal dapat memunculkan raja-raja kecil yang dimana nantinya tujuan utama ketika duduk dalam jabatan kepala daerah adalah mendahulukan kepentingan keluarga bukan rakyat.
Selain itu kehadiran calon dari keluarga incumbent secara kualitas patut untuk dipertanyakan. Calon-calon dadakan ini sangat minim pengalaman dan tidak mempunyai karier politik yang mumpuni. Sungguh tidak elok saya kira bila nanti terdapat daerah-daerah yang dipimpin oleh orang yang baru belajar memimpin.
Sejatinya dalam demokrasi terbuka bagi siapa saja, siapa pun berhak menjadi pemimpin namun patutnya tidak dilakukan dengan cara-cara konyol yang sedemikian rupa. Dengan adanya fenomena hadirnya calon dari keluarga incumbent seolah memperlihatkan kepada masyarakat bahwa tidak ada lagi orang-orang yang mampu dan berkualitas dalam memimpin. Juga menutup ruang dan kesempatan bagi yang lain yang sebenarnya bisa saja lebih baik daripada calon-calon yang ada.
Walaupun dengan alih-alih penjaringan calon telah dijalankan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada tapi tetap saja kesan yang buruk bisa muncul dalam benak masyarakat. Hal ini bisa saja semakin memperburuk keadaan masyarakat yang dimana masih minim pendidikan politik dan juga tidak sedikit pula yang cenderung mulai memilih jalan apatis.
Mengambalikan Fungsi Partai
Partai politik seharusnya jangan menutup mata mengenai fenomena ini. Salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana rekruitmen politik akan tetapi untuk konteks kekinian fungsi tersebut tampaknya mulai mengalami kemorosotan yang tajam.
Rekruitmen dalam partai politik tentu sangatlah penting adanya, yaitu salah satu cara yang dipakai untuk menyeleksi anggota-anggota sebagai kader dan proses regenarasi partai untuk orientasi masa datang yang dipersiapkan sebagai pemimpin. Dalam ranah ini partai seharusnya aktif dalam mencari dan menampung orang-orang yang berkualitas dan memiliki ideologi yang searah guna turut berkontribusi sebagai anggota partai dalam setiap pelaksanaan kegiatan-kegiatan politik. Dengan persiapan yang sedemikian rupa, keberlanjutan dalam tubuh partai bersangkutan akan berjalan lancapr, jangan sampai terjadi lagi pemilihan calon pemimpin yang terkesan mendadak dan tiba-tiba.
Bila permasalahannya terkait popularitas semata bukankah partai politik bisa melakukan sosialisasi calon pemimpin kepada publik jauh-jauh hari sebelum pilkada dimulai. Ajang sosialisasi tersebut bisa dilakukan minimal sekitar dua tahun sebelum pemilihan kepala daerah. Bentuk konkretnya yaitu dengan cara menggerakan dan memperluas jejaring organisasi massa yang ada di daerah dan tentu tidak lupa dengan sering menyapa masyarakat. Hemat saya proses tersebut tidak begitu membutuhkan dana yang besar dan tentunya lebih mendekatkan diri dengan publik secara nyata daripada hanya saat kampanye-kampanye belaka yang justru kini malah menjadi ajang pemanfaatan masyarakat yang lebih “cerdik” guna menguras harta calon-calon pemimpinnya. “Tak ada amplop ya masyarakat tak akan memilih”.
Partai politik sejatinya adalah sarana wadah manyalurkan aspirasi dan berbagai bentuk pemikiran warga yang bukan hanya untuk segelintiran orang-orang saja. Dengan demikian partai politik selayaknya jangan sampai melacurkan ideologinya dan sudi bila hanya sekedar dijadikan alat saja bagi satu keluarga besar yang sedang berencana membangun dinastinya didaerah.
Sungguh ironis dan terkesan konyol bila nantinya muncul beberapa daerah di negeri kita yang menjadi wilayah kekuasaan bagi raja-raja kecil dan keluarganya yang mencari peluang untuk bisa memperkaya sendiri dan keluarga dan tamak akan kekuasaan. Semoga demokrasi yang sedang berkembang tidak sampai hancur karena hal yang kurang penting ini. Ya semoga !.
5 komentar:
Di tempat saya kerja dulu, seluruh provinsi dikuasai satu keluarga. Satu saudara menjadi gubernur, sedangkan satu saudara yang lain menjadi ketua DPRD I, saudaranya yang lain menjadi bupati. Mereka pikir itu kebanggaan.
Kadang-kadang rakyat sudah cukup pintar memilih kandidat kepala daerah yang kompeten. Tapi ada saja politik uang bermain, menyogok rakyat untuk memilih tokoh tertentu.
Meskipun fenomena ini sudah semakin tersorot, sudah jelas sekali kalau ada fenomena lain yang lebih menyedihkan, Dod.
Aku rasa jika incumbent berusaha merajut jejaring untuk memperkuat kekuasaannya, tidaklah lebih menyedihkan daripada selebriti dengan "latar belakang amburadul" yang mencalonkan diri.
Kalau diharuskan memilih, antara jejaring incumbent yang kompeten dengan penari erotis yang berlagak alim menjadi wakil-ku di pemerintahan, tanpa ragu aku akan memilih si incumbent yang kompeten. Entah denganmu, Dod. Mau pilih yang penari erotis aja? :D
Kembali ke artikelmu yang menarik ini, aku jadi ingat pelajaran waktu aku masih kelas 3 IPS dulu:
"Manusia yang dekat dengan kekuasaan, cenderung menyalahgunakan kekuasaan."
Jadi, menurutku kita tidak bisa memastikan kalau Kolusi bisa dihapus tuntas, yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir kerusakannya.
Itu menurutku loh, Dod. Hehehe
Mommy Mayonnaise
Female Stuffs
Blog Perempuan Rumahan
Cerita Film
walupum sedikit miris,,tapi itulah kenyataannya. postingan yang keren sob
Vicky -- Ironis ya Mba Vicky, daerah tempat kerja anda telah jadi dinasti keluarga tertentu. Terus orang-orang yang menjabat itu apakah berkualitas mba ???
Mba Risma -- Mending saya memilih jalan apatis daripada memilih,dari mereka tak ada yang sesuai dengan selera... hehehe
Alvhie -- kenyataan yang harus dirubah tentunya sob.
Sepertinya emang miskin kader bro.
Asal ada yang mau N bermodal duit + popularitas, maka sah2 aja, tanpa memperdulikan pengetahuan mereka akan dunia politik...
Posting Komentar