Oleh : Dodi Faedlulloh
Sebelum melanjutkan tulisan kecil ini, saya selaku penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya, karena mungkin telah sedikit lancang memberanikan diri untuk berbicara mengenai hal ini. Penulis mengakui sebenarnya belumlah layak untuk mengkritisi dan mengkomentari birokrasi , karena mungkin status penulis sendiri yang hanya sebagai seorang mahasiswa yang tentu belumlah meraskan atmosfer birokrasi yang sebenarnya itu seperti apa. Sungguh sebelumnya tiada nitan dari penulis untuk so’ menasehati kalangan yang bisa disebut lebih tua dan tentunya lebih banyak makan garam kehidupan dibanding saya. Disini penulis mencoba memposisikan diri sebagai salah seorang dari jutaan masyarakat yang ada di Indonesia, yang mempunyai hak sama untuk beraspirasi dan menuangkan buah pemikirannya. Aspirasi yang dilatar belakangi karena penulis melihat adanya beberapa kaganjilan yang terjadi dalam tubuh birokrasi pada umumnya yang ada di Indonesia. Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang saya tahu, ilmu saya memang masih sangat kurang, oleh karena itu bilamana ada kesalahan dari risalah kecil ini, saya selaku penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Berbicara mengenai birokrasi, mindset mayoritas orang hampir akan tertuju pada suatu nilai dan argumen yang sama. Itu hal yang wajar, karena kata birokrasi itu sendiri kini sudah dikonotasikan oleh kalangan masyarakat sebagai suatu yang lamban, kaku, berbelit belit dan konotasi negatif lainnya. Citra birokrasi sebagai pelayan publik semakin hari semakin memudar saja, bahkan birokrasi sering termanifestasi sebagai kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau bahkan sebagai suatu penyakit. Ironis memang, bahkan oleh karena itu semua kini masyarakat seakan enggan untuk berhubungan dengan yang namanya birokrasi, kalau bisa mungkin jauh-jauhlah dengan yang namanya birokrasi, dengan kata lain masyarakat sekarang sudah tidak percaya lagi dengan birokrasi.
Bukan tidak ada usaha yang dilakukan oleh pemerintah berkenaan dengan permasalahan klasik ini. Sebenarnya cukup banyak usaha yang coba dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini diantaranya yaitu dengan reformasi birokrasi. Baik itu perbaikan secara struktur, msdm, remunerasi dan yang lainnya. Sehubung dengan keterbatasannya ilmu yang dimiliki oleh penulis, maka pada kesempatan ini, penulis hanya mencoba sedikit untuk mengkritisi perihal remunerasi saja.
Banyak para ahli dan pengamat birokrasi berpendapat bahwa salah satu penyebab buruknya kinerja dari para birokrat kita yaitu karena relatif rendahnya kesejahteraan dari para birokrat itu sendiri (PNS). Paradigma masyarakat terhadap PNS tidaklah seperti dahulu lagi yang dimana PNS selalu diagung-agungkan bahkan tidak sedikit para orang tua yang menginginkan kelak anaknya untuk menjadi seorang PNS. Hal ini terjadi karena dulu seorang PNS dianggap mempunyai status sosial yang tinggi. Tetapi untuk saat ini, anggapan itu tampaknya kurang relevan lagi dengan situasi sekarang yang selalu terus menerus mengalami perubahan. Dari statement diatas dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwa untuk menuju birokrasi yan baik, sistem penggajian dan struktur gaji PNS haruslah diperbaiki yang nantinya bisa membanggakan dan meningkatkan derajat PNS.
Ketika masa pemerintahan Presiden Habibie dulu sampai pemerintahan sekarang sebenarya selalu didengungkan rencana kenaikan gaji PNS minimal setara dengan swasta atau BUMN. Sekurang-kurangnya menjadi tiga kali lebih besar dari ketentuan gaji yang ada. Tapi sayangnya banyak para ahli termasuk Prof Dr Sofian Effendi MPA yang dulu menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Negara ketika pemerintahan Habibie berpendapat bahwa dengan kenaikan gaji tidak otomatis akan meningkatkan kinerja PNS.
Mungkin ada benarnya pendapat dari Bapak Sofian tadi, bahwa tingginya gaji belumlah secara otomatis dapat mendongkrak kinerja jajaran PNS. Tapi untuk kali ini sedikit digeser kedalam konteks yang berbeda. Apakah suatu hal yang adil ketika ada seorang pegawai yang terus menerus bekerja dengan baik untuk memperlihatkan kinerjanya yang tinggi dan ada satu lagi pegawai yang sering tidak masuk kerja, hanya bermalas-malasan saja di kantor tapi mereka berdua ternyata mendapat gaji yang sama ? sebagai mahluk yang mempunyai rasa manusiawi yang tinggi pasti akan menjawab itu hal tidak adil.
Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, Indonesia sebagai bangsa yang selalu terus mengumandangkan dan mendengungkan azas keadilan di setiap tindakan yang akan dilakukannya, pastilah sistem penggajian seperti itu sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, untuk menuju suatu birokrasi yang ideal dan berlandaskan azas keadilan, sistem penggajian dan struktur gaji PNS haruslah segera dirubah dan diperbaiki.
Dalam setiap pekerjaan kita tidak bisa menyangkal bahwa didalamnya terkadang terdapat motivasi lain dari seorang pegawai, oleh karena itu ada suatu hal yang solutif yang bisa dijadikan sebagai motivasi untuk pegawai agar bekerja lebih baik lagi dan dapat mendongrak kinerja PNS. Yaitu dengan reward. Reward merupakan salah satu dari manajemen kinerja, dimana pemberian imbalan kepada pegawai seharusnya didasarkan pada pay at performance yang diharapkan mampu memacu pegawai untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme dalam menjalankan tugas pekerjaannya (Kurniawan, 2009). Reward disisni bisa berupa promosi jabatan, insentif, kenaikan gaji atau self actualization di mana orang berhak untuk mengembangkan kariernya sesuai dengan keinginan dan kompetensinya.
Karena terbatasnya ilmu yang saya punya, saya selaku penulis meminta maaf karena belum bahkan tidak mengetahui sampai saat ini dari mana sumber keuangan yang bisa dijadikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan gaji PNS itu. Yang saya tahu bila inefesinsi, pemborosan dan korupsi yang sering terjadi dalam tubuh birokrasi itu bisa dicegah dan dihindari hasilnya itu bisa dugunakan untuk meningkatkan gaji PNS. Manajemen pajak yang dikelola secara akuntabel dan amanah juga hasilnya bisa digunakan untuk mendukung peningktan gaji dan kesejahteraan pegawai sehingga birokrasi ideal yang profesional itu akhirnya bisa dibentuk. []
1 komentar:
dod.....saya setuju akan reward,..
tapi harus ada indikator yang tepat,...
bukan sekedar kehadiran,..tapi kinerja,...
loba siyh,..cuma males nulisna euy,..wkwkwk,.
Posting Komentar