Reformasi Pelayanan Publik: Telaah Nalar Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Oleh: Dodi Faedlulloh

Kesehatan merupakan salah satu faktor fundamental dalam pembangunan manusia. Warga yang sehat adalah cerminan negara yang sehat pula. Maka sudah selayaknya kesehatan menjadi salah satu unsur penting dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia. Maka kesehatan menjadi ihwal penting untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan masyarakat.

Adalah kewajiban dan tanggungjawab negara dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi tiap warganya, karena kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Namun realitas berpemandangan berbeda. Masih banyak dan mudah ditemukan warga, khususnya kaum marjinal yang kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang baik dan berkeadilan sosial. Konteks Indonesia pun demikian, bukan satu-dua cerita warga miskin yang ditolak oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Dalam glosarium Marxian, kesehatan yang notabene hak dasar manusia dikomodifikasi menjadi bak barang dagangan. Siapa yang punya uang, dialah yang berhak membeli kesehatan.

Tahun 2014 ini memang pemerintah mulai melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia. Terlepas dari masih semrawutnya proses transisi BPJS, secara substansial kita bisa menilik orientasi pelayanan kesehatan di Indonesia seperti apa. Logika yang dibangun dalam penyelenggaraan BPJS adalah asuransi. Padahal asuransi secara konsep selalu merujuk pada bisnis perlindungan secara finansial untuk suatu kejadian yang tidak terduga dari apa yang diasuransikan dengan cara membayar premi yang sudah diatur sedemikian rupa. Hal ini secara eksplisit cukup kentara aspek bisnisnya. Memang ada ihwal penyematan nilai gotong-royong yang dimanifest dalam subsidi silang, namun tetap muasal, atau latar belakang yang menyemangati BPJS ini tak lain adalah komodifikasi kesehatan. Belum lagi ada pengkelasan dalam pemilihan fasilitas kesehatan yang dipilih warga. Padahal bila menilik UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik menyebutkan pelayanan kesehatan termasuk golongan barang publik (public goods).
BPJS dan Nalar NPM

Berkaca pada konteks dimuka, bisa dibedah bagaimana nalar atau paradigma yang dianut Indonesia dalam menjalankan pelayanan kesehatannya. Nilai bisnis yang kental, yaitu, para warga yang membayarlah yang akan mendapatkan fasilitas kesehatan, dengan kata lain pelayanan diberikan kepada customer. Akhirnya penedekatan akuntabilitas didorong pasar. Perspektif seperti inilah yang disebut dalam perkembangan paradigma administrasi publik sebagai New Public Management (NPM) atau sebutan lainnya manajerialism, market-based public administration, the post-bureaucratic paradigm dan entrepreneurial government. Berbagai istilah tadi pada dasarnya mendeskripsikan fenomena yang sama yaitu suatu alternatif untuk cara “birokrasi” tradisional dalam melaksanakan “bisnis” publik (Denhardt dan Denhardt: 2007).

Dalam bukunya, Osborne dan Gaebler (1996) merangkum pendekatannya dalam beberapa diktum; Pemerintahan sebagai katalisator yang berperan mengarahkan daripada mengayuh seluruh organisasi; Pemerintahan milik masyarakat yang memberi wewenang ketimbang melayani; Pemerintahan kompetitif yang menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan; Pemerintahan yang digerakkan oleh misi daripada peraturan; Pemerintahan yang berorientasi pada hasil. 

Sebagai gagasan alternatif dalam perkembangan diskursus paradigma administrasi publik, NPM memiliki kebaruan yang perlu diapresiasi, namun dalam konteks pelayanan kesehatan, hal ini menuai problemnya. Karena sebagai hak dasar manusia, kesehatan layaknya harus bisa diakses semua orang. Memibicarakan masalah ini ada baiknya merujuk pada karya Denhardt dan Denhardt tentang konsep New Public Service. Salah satu akar NPS yaitu teori warga negara demokratis (Democratic Citizenship). Dalam teori warga negara deomkratis pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak individu warganya melalui berbagai prosedur yang ada. Denhardt dan Denhardt mengatakan, “The role of government is to make sure that the interplay of individual self-interest operates freely and fairly”. Yang mana, warga negara kemudian melibatkan diri dalam penentuan-penentuan kebijakan pemerintah. Semangat itu, meminjam istilah Mansbridge (1994), mereka sebut sebagai “public spirit”.

NPS tidak menempatkan warga negaranya sebatas pelanggan seperti dalam paradigma NPM. Warga negara merupakan fundamen negara yang mana negara bertanggungjawab untuk menjamin berbagai kepentingan-kebutuhannya. Denhradt dan Denhradt mengatakan bahwa warga negara bukan saja “pelanggan”, namun “pemilik”. Warga negara tidak seperti pelanggan yang memilih sesuatu sesuai keinginnya. Sebaliknya, warga negara menuntut pemerintah menyediakan sesuatu yang menurutnya penting. Di sisi lain pemerintah secara umum bertanggungjawab kepada warga negara selaku konstituen; Bukan kepada “pelanggan” yang terbatas pada kepentingan pribadi mereka saja. Dan akhirnya orientasi utama negara bukanlah laba atau kepuasaan warga negara, melainkan adalah akuntabilitas mereka sebagai organisasi publik yang diatur undang-undang.

Dari penjelasan di atas, hemat penulis, sejatinya sistem pelayanan kesehatan di Indonesia harus berbasis pada nilai-nilai NPS, bukan NPM. Jadi memperlakukan warga sebagai warga (bukan pelanggan) adalah agenda penting dalam kerangka reformasi pelayanan kesehatan di Indonesia. Masyarakat harus mendapatkan hak kesehatannya, bukan membelinya.

Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Beberapa Catatan

Melihat realitas tentang kesehatan di Indonesia tidak bisa dilihat parsial melalui JKN dan BPJS saja, tapi harus lebih luas dari itu. Yaitu bagaimana landskap pelayanan kesehatan di Indonesia yang lebih kompleks, yaitu berbicara soal kualitas, fasilitas, akses pelayanan kesehatan itu sendiri. Karena saat ini, pelayanan kesehatan masih banyak kelemahan dan belum memenuhi kualitas pelayanan publik yang diharapkan warga. Indikatornya masih banyaknya keluhan warga yang tersebar melalui media massa. Kualitas sarana prasarana kesehatan di Indonesia belum memadai. Baik rumah sakit maupun puskesmas masih minim peralatan medis sehingga tidak bisa digunakan untuk menangani pasien dengan maksimal. Sebagai gambaran, berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2012 yang dimuat di kompas.com (6/7/2013) jumlah rumah sakit di Indonesia 1.721 unit dengan 170.656 tempat tidur. Padahal jumlah idealnya adalah 237.000. Kemudian yang tidak bisa dipungkiri, akses pelayanan kesehatan di setiap daerah di Indonesia masih tidak berkeadilan. Masih banyak daerah-daerah tertinggal di Indonesia, baik yang di Pulau Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara dsb yang warga sudah tidak berdaya secara ekonomi, tidak memiliki pekerjaan namun masih tidak bisa menikmati jaminan kesehatan yang diberikan pihak pemerintah. Berdasarkan data yang dilansir oleh Pusat Data dan Informasi Ikatan Dokter Indonesia dalam kompas.com (6/7/2013) ditemukan bahwa distribusi dokter di Indonesia sangat tidak merata. Pada 2013, sekitar 50% dari 109.000 dokter berada di Jawa dan hanya 5% di kawasan Indonesia Timur. 

Kendala tertinggal dan terpencilnya suatu daerah membuat warga yang berdomisil di daerah tersebut menemui hambatan luar biasa, tidak hanya akses fasilitas dan kualitas yang jauh di bawah standar, bahkan sampai akses informasi pun sangat minim. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut, logika JKN bisa dibalikkan dengan pertanyaan sederhana untuk apa pemerintah memberikan jaminan kesehatan, bila pelayanan kesehatan justru tidak bisa diakses warganya secara berkeadilan. Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang berkeadilan menjadi hal urgen untuk segera dilaksanakan.

Reformasi Pelayanan Kesehatan: Belajar dari Kuba

Beberapa masalah yang disinggung dimuka mendorong dan menunjukan tentang urgensitas untuk segera melaksanakan agenda reformasi pelayanan kesehatan yang lebih kompeherensif. Sebagai rujukan, kita bisa belajar pada best practices di lapangan tentang pelayanan kesehatan. Bila melihat situasi dan latar belakang Indonesia sebagai negara berkembang, adalah Kuba negara yang bisa dijadikan tauladan dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi warganya. Kuba saat ini merupakan salah satu pemerintah negara komunis terakhir di eksistensi di dunia dan satu-satunya pemerintah komunis di belahan bumi barat (del Aquila: 1992; World Factbook: 2006, Brice: 2008). Walaupun negara satu ideloginya, Uni Soviet bubar, yang berkonsekuensi pada berkurangnya bantuan pasokan ekonomi sejak Tahun 1992 pada Kuba (Barry: 2000; Garfield dan Santana: 1997; Krinsky dan Golove: 1993, Waitzkin,Wald,Kee, Danielson, dan Robinson: 1997), negara yang merupakan pulau kecil ini tetap memiliki indikator kesehatan yang lebih baik dari negara yang lebih kaya secara eksponensial. Ada komitmen dan tanggungjawab negara dalam menjamin hak-hak dasar individu warganya. Memang sejak kemenangan revolusi yang dipimpin Fidel Castro tahun 1959, bidang kesehatan sudah menjadi prioritas utama selain bidang pendidikan (Sims: 2002).

UNICEF dan Pan American Health Organization (PAHO) menjelaskan “sistem kesehatan masyarakat Kuba adalah yang terbaik di hampir seluruh negara berkembang dan dalam banyak hal, bahkan lebih baik dari banyak negara industri. Kuba, misalnya, menyediakan akses kesehatan kepada 98 persen penduduknya, jumlah yang mengalahkan level Amerika Serikat (AS) dan seluruh negara Amerika Latin. Tidak itu saja, 95 persen penduduk Kuba dikunjungi oleh dokter dan perawat yang tinggal dan melayani kebutuhan masyarakat di sekitarnya’ (Whiteford dan Branch, 2009). Komitemen Kuba terhadap pelayanan kesehatan sudah mulai diprakarsai sekitar 1985.
Around 1985, the Cuban Ministry of Health decided that the people should have greater access to primary health care. To carry out this idea, small teams of a family doctor and a nurse were established around the polyclinics, each serving only 600 to 800 people. This incredibly high emphasis on primary health care was possible because there was a very large supply of young doctors and because the govemment considered health a top priority. (Roemer: 1993)

Di Kuba ada sekitar 11 juta penduduk dengan 77.000 dokter, di mana 32.500 di antaranya adalah dokter keluarga. Jika dibandingkan dengan negara industri maju seperti Kanada, misalnya, negeri ini memiliki 35.000 dokter keluarga, dan AS, 52.000 dokter keluarga (Jane, 2006). 

Whiteford dan Branch menginformasikan pada tahun 2009, ada sekitar 74.880 dokter di Kuba, atau sekitar 1 dokter untuk 150 penduduk (Brouwer, 2011). Rasio jumlah dokter berbanding penduduk ini hanya kalah dari Italia, tapi lebih baik dari rasio jumlah dokter berbanding penduduk di AS (1:480) dan di Inggris (1:450). Dokter keluarga ini menghabiskan waktu di pagi harinya dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk sekitarnya, membuat janji dengan mereka, dan pada sore harinya, mereka datang kembali mengunjungi rumah-rumah keluarga tersebut untuk memeriksa kesehatan dan cara hidup sehat mereka (Kirk dan Erisman, 2009). Tidak itu saja, seluruh penduduk Kuba bebas untuk mengakses layanan kesehatan untuk seluruh kategori penyakit tanpa dipungut biaya sepeser pun. Inilah jelas yang menjadi pembeda antara layanan kesehatan Kuba dan Indonesia.

Lebih jauh Kirk dan Erisman menerankan tentang ‘output’ dari layanan keseharan Kuba. Hasilnya tingkat kematian ibu sangat rendah yakni 5 per seribu kelahiran pada 2006, dan rata-rata kematian anak di bawah lima tahun adalah 7 per seribu kelahiran. Secara komparatif, data tahun 2003 menunjukkan bahwa tingkat kematian dini di Kuba adalah 5,3 per seribu kelahiran, sementara di AS adalah 6,9 per seribu kelahiran dan dari segi tingkat harapan hidup Kuba juga tinggi. Kuba adalah satu-satunya negara yang menyediakan perlindungan bagi seluruh penduduknya, khususnya anak-anak terhadap serangan 12 jenis penyakit yang berbeda (Whiteford dan Branch, 2009).

Kemudian publikasi ilmiah di bidang kesehatan dapat diakses secara terbuka. Kuba sementara menghilangkan hambatan hukum, ekonomi atau teknologi untuk akses ke dokumen-dokumen ilmiah. Bahkan hasil penelitian tentang kesehatan disebarkan seluas mungkin, sehingga dapat dianalisis, didiskusikan, dievaluasi dan dikonfirmasi oleh komunitas ilmiah (Sanchez, Fernández, Caballero: 2012)

Data World Macroeconomic Research, pendapatan nasional kotor Kuba pada 2010 sebesar US$63 billion (http://www.kushnirs.org/macroeconomics/gni/gni_cuba.html). Dari angka sebesar itu, menurut Bank Dunia (2010), pemerintah menganggarkan sebesar 14,5 persen untuk sektor kesehatan (http://www.tradingeconomics.com/cuba/health-expenditure-total-percent-of-gdp-wb-data.html). Di Kuba sendiri, peranan swasta (bisnis kesehatan) dalam pengelolaan kesehatan sangat minim, yakni hanya sebesar 0,5 persen pada 2010, sementara peranan pemerintah mencapai 95,3 persen.

Data yang berbeda disampaikan Kirk dan Erisman yang mengatakan bahwa pada 2009 Kuba telah mengalokasikan 23 persen dari belanja negara untuk sektor kesehatan dan 10 persen untuk sektor pendidikan. Dengan anggaran sebesar itu, Kuba membelanjakan sekitar US$251 per orang untuk pelayanan kesehatan, bandingkan dengan AS yang membelanjakan US$5.711 per orang pertahun. Namun, dengan anggaran sebesar itu, 99 persen penduduk Kuba memiliki akses kepada pelayanan kesehatan yang sangat profesional.

Hal yang juga unik, sektor kesehatan memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada pendapatan Kuba dalam bentuk ‘medical tourism.’ Medical tourism di sini diartikan
Medical tourism, defined as travel with the express purpose of obtaining health services abroad, is a growing international trend. There is no single market for medical tourism; rather, the market is segmented by purpose, complexity and type of care, and cost. Medical tourists are motivated by a variety of forces—including a desire for privacy, a desire to avoid long waiting lists in travelers' home countries, and the promise of first-class services at third-world prices—and different destinations have positioned themselves to tap into these requirements (de Arellano: 2011)
Walaupun tidak ada data yang pasti, tapi menurut prediksi Kirk dan Erisman, setiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 2-3 ribu orang wisatawan berobat ke Kuba. Sisi menariknya, dengan kualitas kesehatan yang baik ini akhirnya menjadikan identitas tersendiri bagi Kuba di mata internasional sebagai negara kesehatan, dan mampu memupuk rasa kebanggan masyarakatnya terhadap tanah airnya (Johnson: 2006).

Indonesia, What’s to be done?

Suksesnya pembangunan sistem kesehatan Kuba tak lain tergantung pada filosofi pembangunan berbasis manusia yang dianut pemerintah Kuba, sistem kesehatan yang menggabungkan antara profesionalisme tenaga medis dan partisipasi aktif dari masyarakat.

Indonesia bukan Kuba. Ada kondisi material objektif yang berbeda di antaranya. Namun apa yang bisa dipelajari dari sistem kesehatan Kuba adalah tentang bagaimana menerapkan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat. 

Indonesia pun seharusnya bisa memberikan layanan kesehatan yang baik bagi seluruh warganya. Dengan limpahan sumber daya yang luar biasa yang dimiliki Indonesia sejatinya bisa menjadi ‘modal’ negara untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi para warganya. Namun sayang, mis-manajemen, tindak korupsi disertai proyek privatisasi menjadi ragam sebab pelayanan publik di Indonesia masih belum berkualitas. Oleh karena itu sebagai hal mendasar, gerakan reformasi pelayanan kesehatan perlu dijadikan sebagai momentum perubahan paradigma birokrasi. Kesehatan tidak bisa dibaca dalam kacamata NPM, sebaliknya nilai-nilai NPS harus direproduksi, dipraktikkan, dan diinternalisasi pada seluruh linkungan birokrasi kesehatan. Karena pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat hanya dilihat semata-mata sebagai pelanggan (customer), tentu akan sangat mempengaruhi pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Oleh karena itu masyarakat perlu dihargai sebagai warga negara yang memiliki posisi penting. Dalam suatu negara yang mengembangkan wawasan demokrasi, sebenarnya warga negara tidak bisa hanya disebut sebagai customer, tapi lebih dari itu yaitu owner, atau pemilik pemerintah yang memberikan layanan publik tersebut. Frederickson (1992) menjelaskan bahwa bila customer memilih berbagai macam produk yang ditawarkan di pasar, sementara warga negara memutuskan kepentingannya kemudian pemerintahlah yang melaksanakan keputusan tersebut dengan menggunakan biaya publik.

Kemudian komitmen, keseriusan, konsep dan fokus pemimpin. Menurut sejumlah pengamat, salah satunya Soetandyo Wignyosoebroto (dalam Jeddawi: 2008 ) gerakan reformasi kondisi birokrasi seolah berjalan di tempat diakibatkan karena setiap pimpinan pemerintahan belum optimal secara sungguh-sungguh mereformasi birokrasi, padahal peluang itu terbuka. Adalah komitmen politik dari negara serta komitemen pemimpin yang bersungguh-sungguh berjuang memberikan hak-hak dasar bagi tiap warganya. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah Kuba telah memberikan perhatian yang tinggi dalam pembangunan kesehatan yang berwujud layanan kesehatan dengan kualitas tinggi.

Daftar Pustaka
Barry, M. (2000). Effect of the U.S. embargo and economic decline on health in Cuba. Annual of Internal Medicine, 132, 151–154.
Brice, Alejandro E.. 2008. Comparative Policy Brief Status of Intellectual Disabilities in the Republic of Cuba. Journal of Policy and Practice in Intellectual Disabilities Volume 5 Number 2 pp 118–121 June.
Brouwer, Steve. 2011. Revolutionary Doctors How Venezuela and Cuba are Changing the World’s Conception of Health Care. Monthly Review Press. New York.
del Aquila, J. M. 1992. Cuba. Academic American Encyclopedia [Computer database]. White Plains, NY: Prodigy Services Company.
de Arellano, Annette B. Ramirez. 2011. Medical Tourism in the Caribbean. Journal of Women in Culture and Society 20\\, vol. 36, no 2
Denhardt Robert B and Janet V. Denhardt. 2007. New Public Service (Expanded Edition). ME Sharpe. London.
Frederickson, H. G. 1992. Painting Bulls-Eyes around bullets Holes. Governing V.6 (1).
Garfield, R., & Santana, S. (1997). The impact of the economic crisis and the US embargo on health in Cuba. American Journal of Public Health. Retrieved June 12, 2002, from www.usengage.org/news/ 9701ajph.html
Jane, Westberg. 2006. Making A Difference An Interview of Cosme Ordo´n˜ ez Carceller. Education for Health, Vol. 19, No. 3, November 2006, Taylor&Francis, hlm. 392
Jeddawi, Murtir. 2008. Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaan PNS. Yogyakarta. Kreasi Total Media.
Johnson, Candace. 2006. Health As Culture And Nationalism In Cuba. Canadian Journal of Latin American & Caribbean Studies; 31, 61; ProQuest Research Library pg. 91
Krinsky, M., & Golove,D. (Eds.). 1993.United States economic measures against Cuba. Northham, MA: Aletheia Press.
Kirk, John M. dan Michael, H Erisman. 2009. Cuban Medical Internationalism Origins, Evolution, and Goals. Palgrave Macmillan. New York
Mansbridge, June. Ed. 1994. Public Spirit in Political Systems. Dalam Values and Public Policy, ed. Hendry J. Aaron, Thomas Mann, Timothy Taylor, 146-72. Brooking Institution: Washington DC.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Roemer, I Milton. 1993. Primary Health Care and Hospitalization: California and Cuba. American Journal of Public Health, Vol. 83, No. 3
Sánchez, Nancy, Fernández, J. Carlos, and Caballero, R Alejandro. 2012. An Open Access Policy for the Scientific Output of Cuba’s National Health System. Libri, Vol. 62, pp. 211–221, September.
Sims, Holly.2002. Public administration in Cuba. Public Administration & Development; 22, 3; ABI/INFORM Global pg. 289
Waitzkin, H., Wald, K., Kee, R., Danielson, R., & Robinson, L. 1997. Primary care in Cuba: Low and high technology developments pertinent to family medicine. Journal of Family Practice, 45, 250–258.
Whiteford, Lionda M. dan Branch Laurence G. 2009. Primary Health Care in Cuba The Other Revolution. Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
World Factbook. (2006). The World Factbook 2006. Washington, DC: Central Intelligence Agency. Retrieved July 10, 2006, from www.cia.gov/publications/factbook/geos/cu.html
Internet
http://www/kompas.com
http://www.kushnirs.org/macroeconomics/gni/gni_cuba.html.
http://www.tradingeconomics.com/cuba/health-expenditure-total-percent-of-gdp-wb-data.html


0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma