Pergeseran Paradigma

Oleh: Dodi Faedlulloh

Konon kehidupan pasca kampus mau tidak mau akan memaksa sang sarjana untuk kompromi dengan dunia yang dihadapinya. Dulu yang kerap berteriak lantang ini-itu mulai memelankan suaranya. Semacam siklus yang sering terjadi tiap jaman. Imajinasi kolektif bernama real life telah “memenjarakan” semangat muda. Mungkin diktumnya berubah: Untuk bertahan hidup maka berkompromilah! Tentang hal ini, saya sering melihatnya. Setelah lulus sarjana 2011 lalu, pemandangan demikian kerap saya saksikan sendiri dari wisuda satu ke wisuda berikutnya. Kebetulan saat mahasiswa, saya "tersesat asyik" dalam lingkaran gerakan-gerakan mahasiswa. Setidaknya saya mengenal teman-teman secara personal. Jadi bila ada perubahan sedikit sikap dan pikiran dari mereka, tampak jelaslah bagi saya.

Beruntunglah, sejauh saya amati teman-teman aktivis yang satu era dengan saya di kampus, tidak ada yang sampai, dalam bahasa gerakannya, “melacurkan intelektualnya.” Paling banter hanya terjebak dalam dunia baru yang dihadapi: dunia kerja di perbankan, finance, media, jualan dsb.  Jadi orientasi berputar lebih banyak terporsir soal mencari uang. Ya, ketika mahasiswa banyak membicarakan tentang uang, maka setelahnya kini harus dituntut untuk mencarinya. Tapi dalam suasana informal tak jarang setelah berlelah kerja obrolan soal filsafat, sosial, politik, dan semacamnya tetap menjadi menu penghangat pertemuan. Mungkin porsinya saja tentu yang tidak sebesar saat masa-masa kuliah dulu. Masih ada sedikit Kant, Marx, Lenin, Habermas, Zizek, Badiou. Iya, sedikit.

Kemudian hal menarik yang perlu diapresiasi, tidak sedikit dari para eks-aktivis mahasiswa di tengah kesibukannya berkutat dengan target kantor masih mencari atau membuat ruang karya sosial. Tentunya dengan pendekatan-pendekatan yang lebih membumi dengan realitas. Memoderasi gap antara perjuangan kala mahasiswa dengan realitas kebutuhan sehari-hari. Berarti perlu kebijaksanaan luar biasa untuk memilah mana yang pragmatis, taktis, strategis, dan “idealis.” Hal ini yang kerap saya sampaikan dalam beberapa kesempatan kepada para mahasiswa tingkat akhir. Ya itung-itung pembekalan sebelum sarjana. Karena tidak sedikit dari para cendikia aktivis kampus yang justru gagap menjalani kehidupan pasca kampusnya.

Selanjutnya ihwal kehidupan pasca kampus yang paling menarik perhatian saya bukan tentang di mana kemudian ia mengabdi dan bekerja atau memilih jadi pengusaha atau karyawan. Tapi ketika ada beberapa teman yang mulai menggeser paradigmanya. Menggeser titik pijak falsafah hidup. Misal ketika mahasiswa meyakini bentuk perjuangan adalah dengan kebersamaan merebut alat produksi, maka kini secara tegas dan berani mengatakan bahwa kebebasan individu adalah suatu yang benar. Adalah lumpen bagi orang-orang yang hanya menungu ‘belas kasih’ negara. Nasib seseorang ditentukan oleh dirinya, bukan di luar dirinya. Kebebasan individu dalam berekonomi adalah tesis yang tepat. Dengan kata lain yang dulu kiri dan anti terhadap praktik dan gagasan liberalisme berubah menjadi ‘pengusung’ liberalisme. Hal ini yang menarik perhatian saya. Kadang saya penasaran, ada peristiwa semacam apa yang melatarbelakangi pergeseran “keimanan” tersebut. Untuk kasus ini, mungkin padanan kata yang tepat bukan lagi bergeser, tapi berubah.

Secara pribadi saya tidak pernah begitu mempersoalkan tentang ‘ideologi’ yang diyakini orang-orang, karena sampai saat ini, selama bukan penganut rasis-fasis, saya masih bisa duduk makan malam bersama para kapitalis, sosialis, anarkis, ataupun fundamentalis. Bahkan di tempat saya mengabdi saat ini, ideologi begitu berwarna. Ada yang kiri mentok, agak ke tengah, kanan abis, semuanya  ada tapi uniknya tetap berjalan harmonis, dan karya kolektif tetap berjalan.

Kembali menyoal pergeseran/perubahan paradigma tersebut, tulisan kecil ini bukan untuk memberi penilaian, tapi lebih ingin mencurahkan hati kepenasaran bagaimana proses reorientasi tersebut terjadi. Apalagi perubahan yang terjadi 180 derajat.

Sebenarnya perubahan pijakan ideologi politik bukan hal yang baru. Bahkan para filusuf pun mengalaminya. Sartre yang sempat menyanjung komunisme justru ‘mengutuknya’ di akhir perjalanan pemikirannya. Bahkan Marx sendiri, bila mengikuti Althusser, ada patahan-patahan dalam pemikirannya sebagai bentuk pergeseran paradigma. Pengalaman pribadi pun demikian, tapi pergeseran ideologi berjalan begitu acak. Saya pernah postmo-postmoan, Marx-Marxan, Anarkis-anarkisan, sampai saat itu teduh dalam payung gagasan dan praktik ko-operasi.

Konteks

“Hidup adalah pilihan,” begitulah yang tersemat dalam common sense. Bisa jadi berlaku dalam ideologi. Bukan maksud mereduksi konsepsi ideologi menjadi perkara soal memilih, tapi fakta sosial menunjukan kecendrungan demikian karena beberapa hal. Pada dasarnya kalau boleh menyebutkan, sebagian besar eks aktivis mahasiswa, begitupula saya sendiri bukanlah seorang “pemikir”. Pemikir dalam arti orang yang memang concern dalam olah pikir. Berfilsafat secara tekun, mendisiplinkan epistemologi, dan tentunya menciptakan karya pemikiran tertentu. Jadi hal mendasar yang mengkondisikan pergeseran atau perubahan paradigma yang dialami, hemat saya, karena perjumpaan dengan real life yang begitu berbeda dengan angin surga teriakan-teriakan revolusioner. Kondisi yang dilihat sehari-hari adalah pelajaran yang berseliweran di mana-mana dan manusia bisa mengambil hikmahnya. Hikmah inilah yang kemudian tercerap sebagai peng-aminan bahwa apa-apa yang dibicarakan ketika mahasiswa tidak bertemu dengan praktiknya. Adigum kala mahasiswa hanya manis di tataran normatif. Alhasil temuannya adalah perlu ada sesuatu yang dirubah.

Dengan kata lain perubahan yang terjadi karena pada medan aksiologis yang menuai kritik, bukan tataran epistemologisnya. Yang menjadi pertimbangan adalah fakta-fakta yang terjadi di sekitar kita. “Ah omongan si filusuf ini ga bisa dipraktekin, justru si filusuf itu lah yang benar dengan sendirinya,” kurang lebih seperti itu ujaran yang terucap. Jadi ketika ada kasus perubahan keimanan dari kiri ke kanan bisa jadi karena belum ada fakta atau bukti konkrit yang menjadi jawaban dalam permasalahan yang dihadapinya. Ada kekecewaan yang terakumulasi. Begitulah sedikit kecurigaan saya.  Maka dengan mengalihkan cara pandang bisa sebagai jalan memotivasi diri sendiri untuk mencapai “kesuksesan hidup.” Kalau kita sendiri sudah sukses, maka yang lain akan terkena imbasnya. Semakin suksesnya kita, semakin besar pula kemungkinan orang-orang akan terbagi rezekinya.

Cara seperti ini tidaklah sepenuhnya salah, karena memang ada orang yang tipekal believing after seing, ada juga yang seing after believing. Toh ada orang bisa percaya MLM kalau sudah melihat teman dekatnya sendiri terbukti sukses gara-gara MLM. Akan tetapi cari ini tentu bakal bersua dengan kritik, karena biasanya terjebak dalam menggunakan indikator “orang sukses” ala A untuk menjudge “orang sukses” ala B. Untuk pergulatan pemikiran tentu hal ini sulit ditemukan benang merahnya. Tapi begitulah uniknya hidup, selalu beragam. Apapun itu yang jelas sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain. Nah, sudah bermanfaatkah kita? *

0 komentar:

 
Creative Commons License
All contens are licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Creative Commons [cc] 2011 Dodi Faedlulloh . Style and Layout by Dodi | Bale Adarma